39. Sakit, Tapi Mereka Masih Keluarga

2.5K 305 13
                                    

Sebelum melakukan seperti yang Raline dan Helva inginkan, Altaria harus menyelesaikan semua permasalahan yang ada di sini.

Seperti sekarang ia baru saja selesai rapat dengan para pemegang saham dan petinggi perusahaan. Lalu setelah jam makan siang akan dilanjutkan dengan rapat bersama para kepala bagian.

Dikarenakan beberapa pemegang saham yang jatuh maka saham-saham tersebut pun dilelang dan ternyata perusahaan masih memiliki nama besar. Masih banyak yang berlomba-lomba ingin membeli saham dan itu merupakan tanda yang sangat baik untuk Altaria.

Mana bisa perusahaan ini jatuh hanya karena para penjilat itu. Altaria terlalu optimis karena selama perusahaan ini berada di tangannya, perusahaan semakin berjaya.

Altaria memandangi kehidupan yang berada di balik kaca dari ruangannya sambil meminum teh merahnya. Perasaannya masih campur aduk, meski pun beberapa hal hampir selesai, tetapi ada rasa cemas dan takut yang berada di hatinya. Dan entah bagaimana ceritanya Altaria bisa bertahan sampai saat ini tanpa berganti dengan Andhita mau pun Jolika. Mungkin karena ia sudah sangat menyiapkan dirinya dari jauh-jauh hari dan rajin berkonsultasi ketika Helva masih berada di rumah sakit mau pun ketika Helva mulai terapi. Makanya ia belum berdisosiasi lagi.

“Masuk.”

Setelah mendapati izin pintu pun terbuka dan ternyata yang datang menemuinya adalah Lian.

“Kak.”

Tentu saja suara itu membuat Altaria terkejut. Ia langsung berbalik dan menatap adik sepupunya dengan intens. “Lian?”

Lian tersenyum tipis. “Gimana kabarnya, Kak?”

Altaria mengangguk kecil. “Gue.., cukup baik.” Ia lalu menghampiri Lian, berdiri di hadapan pria itu. “Lo kenapa ke sini?”

“Mau liat Kakak gue,” guraunya.

Altaria berdecak pelan. “Ayo duduk.” Ia lalu duduk di sofa tunggal diikuti Lian.

Keduanya duduk berhadapan. Altaria menyesap sedikit tehnya setelahnya menatap Lian. “Gue nggak akan minta maaf dengam apa yang gue lakukan pada Papa dan Mama lo.”

Seperti biasa Altaria selalu suka berbicara langsung pada intinya, tidak suka berbasa-basi.

Lian mengangguk. “Berat banget, Tir, buat gue terima semua ini, meski pun mereka menekan gue, memaksa gue untuk jadi apa yang mereka mau tapi mereka selalu ada buat gue.” Ia membuka mulutnya setelah cukup lama diam dan mengatur isi kepalanya.

Altaria paham dengan perkataan Lian itu, namun perbuatan mereka harus dipertanggung jawabkan. Jika dibiarkan begitu saja yang ada akan semakin melonjak dan bersikap berkuasa. Bisa saja Altaria dan Helva selamat saat ini, tapi tidak ada yang menjamin itu di kemudian hari terlebih jika Raline ikut menjadi korban.

“Sebelum itu, lo beneran Tira ‘kan?”

Kedua alis Altaria terangkat. “Andhita lagi tidur kalo itu yang pengen lo tahu.”

“Lo..,” Lian membasahi bibirnya. “Lo beneran punya kepribadian ganda?”

Altaria tersenyum tipis lalu mengangguk. “Dua. Yang pernah lo temui namanya Andhita, perempuan serigala berbulu domba itu dan satunya mungkin kapan-kapan lo bisa ketemu.”

Setelah beberapa hari berlalu dan sudah menyerap semua informasi yang didapatnya tetap saja Lian masih terkejut ditambah informasi baru ini. Selama ini Altaria terlihat baik-baik saja, tak ada suatu hal aneh pada dirinya, kecuali Altaria yang menjadi dingin. Selebihnya Altaria tetap lah Altaria yang sama, namun ternyata ada yang disimpan Kakak sepupunya itu.

“Gue nggak percaya kalo lo punya hal seperti itu. Gimana bisa? Kata Andhita semua karena keluarga gue, benar?”

Ya, sedari Andhita sedikit bercerita padanya, Lian menjadi sangat penasaran akan perbuatan apa yang dilakukan keluarganya selain mencaci maki Altaria dan Tantenya selama ini. Pikirannya sudah bisa lurus setelah merenung dan menyendiri. Kejahatan keluarganya memang banyak, meski pun sulit dipercaya tetapi itulah kenyataannya.

Altaria memandangi kedua iris Lian dengan lekat. Ia lalu mengambil sikap duduk bersandar agar nyaman untuk bercerita. Sekali lagi ia harus bercerita pada orang lain dan rasanya masih sama, menyakitkan dan berat.

Altaria menarik napas perlahan lalu menghembuskannya perlahan. Ia berhitung dalam kepalanya, menyugesti dirinya dengan baik baru mulai bercerita.

Lian diam dan menunggu Altaria untuk berbicara. Ia yakin apa yang akan disampaikan Kakak sepupunya itu bukanlah perkara yang ringan namun sangat berat.

“Banyak yang terjadi selama gue hidup, Lian. Ketika lo ditekan oleh keluarga lo, gue dikucilkan oleh semua orang. Seperti yang udah lo tahu Mama selalu dicaci maki oleh semua orang. Itu gue alami sedari gue lahir. Semakin gue besar semakin gue mengerti. Untuk menutup mulut mereka gue berusaha keras jadi anak yang berprestasi dan membanggakan. Tapi tetap saja serangan cacian dan perundungan itu tetap gue dan Mama gue terima. Meski pun begitu gue selalu berusaha nggak peduli semua itu. Karena Mama selalu ngebangun kepercayaan diri gue. Berkat Mama dan dia makanya gue tumbuh menjadi anak yang tetap ceria, tanpa kekurangan kasih sayang. Terserah mereka mau berkata apa yang terpenting gue memiliki keluarga yang sayang sama gue. Sampai Helva lahir pun, kami tetap tidak peduli omongan mereka. Meski pun dia pun ikut dicemooh, tetapi omongan mereka tidak ada yang kami dengarkan.

Waktu terus berjalan sampai gue mulai memasuki usia remaja. Saat itu gue akui, gue memang ceria, cerah, tapi gue juga selalu murung dan tertekan tanpa gue beritahukan pada siapa pun. Gue hidup untuk bertahan dan melindungi, itu yang gue tahu semakin gue besar. Hidup di dalam arena pertarungan membuat gue harus bisa bertarung dan bersikap tetap ceria.

Sampai.., satu fakta terungkap.

Om lo, yang tidak lain Tuan Altair itu...,bermain gila di belakang kami.”

Lian tidak bisa tidak terkejut. Keluarga ini kenapa busuk dan hancur seperti ini? Padahal dulunya ketika Oma dan Opanya masih hidup, mereka sering bercerita betapa penuh kekeluargaan dan kasih sayang antar saudara dulunya. Namun ketika datang pada generasi selanjutnya yaitu orang tua Lian dan Altaria mengapa kacau balau begini?

Terlebih ternyata Altaria hidupnya lebih sulit, batinnya juga sama bahkan mungkin lebih tersiksa dari Lian.

Kakak yang selalu tersenyum cerah padanya itu ternyata menyimpan gejolak batin yang hebat.

“Ya, Lian. Dia berselingkuh. Ketika gue tahu, gue langsung mencari tahu sejak kapan dan bagaimana meski pun begitu gue memilih untuk diam. Tidak bercerita pada siapa pun. Itu salah satu penyebab gue berubah dan yang menjadi penentu ketika gue diculik sama Mama lo.”

“Mama?” Lirihnya pelan seakan tidak percaya ucapan Altaria itu. Altaria diculik oleh Mamanya, Bulan Magenta?

Altaria mengangguk. “Mama lo nyulik dengan niat mau ngebunuh gue.”

“Dan pelaku penculikan Helva pun Mama dan Papa lo.”

Kepala Lian kembali lagi terasa dipukul benda yang sangat keras sehingga membuatnya linglung. Apalagi ini?

“Gue saat itu bukan hanya diculik.., tapi disiksa secara fisik dan batin. Badan gue dipukul, wajah gue digampar, gue dijambak, disilet, dicambuk.. Lo tahu, Dek? Sakit banget saat itu selama lima hari gue diperlakukan dengan kejam dan bukan hanya disitu saja, tapi gue...” Mau berapa kali bercerita pun tetap menakutkan dan membuat Altaria gemetar. Ia menatap Lian lurus. “Gue diperkosa berkali-kali tanpa ampun.”

Lian menutup mulutnya terkejut. Ibunya melakukan itu?

“Dari situlah gue mencari perlindungan dengan menciptakan pribadi lain pada diri gue. Gue trauma berat. Butuh waktu bertahun-tahun untuk gue bisa tidur lebih dari dua jam sehari. Jadi dengan alasan itu gue nggak bisa memberi pengasihan gue pada mereka, Papa dan Mama lo memperlakukan hal yang mirip pada Helva. Lo tahu ‘kan sesayang apa gue sama Mama dan adik gue? Mereka berani menyentuh harta berharga gue dan gue yang selama ini diam nggak bisa lagi. Hati gue sakit ngelihat keadaan Ela saat itu. Dan semua kilasan masa lalu seakan kaset rusak yang berputar di kepala gue. Salah satunya ketika Mama lo mencaci maki Mama gue. Sakit hati gue, Lian. Gue nggak bisa lagi biarin siapa pun menginjak-injak kami termasuk keluarga lo. Dan trauma gue, lo nggak akan pernah mau tahu seperti apa.

Gue susah cerita ini. Badan gue semua gemetaran, tapi gue menguatkan diri. Beruntunglah gue udah bisa sedikit tenang karena rajin terapi. Karena kalau tidak mungkin gue udah pingsan saat ini karena membuka mulut bahkan bercerita sebanyak ini sama lo. Ini rahasia terkelam hidup gue, Lian. Rahasia keluarga Altair.

Dan setelah mendengar cerita ini gue harap lo cukup mengerti dengan penjelasan gue ini. Gue nggak bisa ngebiarin orang tua lo bebas tanpa hukuman yang setimpal.”

Astaga, selama ini ia lahir di keluarga macam apa yang dengan teganya melakukan perbuatan keji seperti itu? Kejahatan mereka sudah banyak dan ditambah dengan menyakiti keponakan mereka sendiri, sudah mati kah hati nurani mereka? Hanya demi harta dan kedudukan mereka berbuat hal seperti itu?

Lian tidak habis pikir. Ia tidak pernah berambisi atau menginginkan menjadi penerus Bima Grup. Impiannya adalah menjadi seorang penulis. Ya, Lian ingin menjadi penulis novel, tapi tentu saja impiannya itu ditentang.

Lian hanya tidak mau hidup di dalam tekanan karena kondisi keluarga besar yang tidak sehat seperti itu.

Ketukan di pintu menyela obrolan mereka. Kendra berjalan masuk sambil membawa nampan berisi secangkir vanilla latte hangat untuk Lian. Setelah menaruh minuman itu, Kendra pun keluar.

Lian yang memang merasa haus segera menyeruput minumannya. Ia meletakkan cangkirnya lalu memandang Altaria yang setia melihatnya.

Lian menekuri cangkir di atas meja dengan lekat. Kepalanya menunduk dalam.

“Maaf untuk kejahatan dan dosa keluargaku, Kak. Rasanya aku udah kayak nggak punya muka ketemu Kakak. Bisa-bisanya aku meminta keringanan dari Kakak padahal mereka sekejam itu.” Lian tersenyum miris lalu mengangkat kepalanya dan menatap tepat di kedua mata Altaria.

Altaria mendesah pelan. Ia lalu berpindah tempat dan memeluk Lian. “Nggak papa aku ngerti. Walau gimana pun mereka tetap orang tua kamu. Tapi maaf, Dek. Kakak nggak bisa ngasih keringanan. Kakak cuma ingin keadilan. Keadilan yang harusnya dua belas tahun yang lalu Kakak dapat.”

Lian diam dalam dekapan hangat dan rapuh Altaria. Adik yang selalu mengikutinya ke mana pun, yang selalu merengek padanya, yang sangat manja padanya itu menangis keras. Hati Altaria rasanya tercubit kuat.

Kerapuhan dan kesakitan Lian juga kesakitannya. Lian adalah sdik pertamanya sebelum Helva, jadi apa yang dirasakan Lian dapat Altaria rasakan juga. Sebegitu sayangnya pada Lian.

Altaria memeluk Lian semakin erat. Altaria tidak bisa membebaskan mereka, perbuatan mereka sudah di luar nalar dan sangat keterlaluan. Ia harus hidup dalam kekelaman selama lebih dari dua belas tahun. Jadi Altaria tidak akan bisa membantu Lian.

Meski begitu Altaria berjanji ia akan menjadi pendengar yang baik untuk Lian. Altaria akan selalu memberi dekapan hangatnya pada Lian. Lian tidak akan sedikit pun kehilangan perhatian dan kasih sayangnya.

Walau Altaria kini sedang mati-matian berjuang melawan akal sehatnya tetapi rasa kasih sayang dan kepeduliannya pada orang-orang yang dikasihinya terlalu besar. Mentalnya yang tidak sehat tidak akan bisa menghalanginya dalam melindungi dan menjaga orang-orang yang disayangnya. Karena kebahagiaan mereka lah juga kebahagiaan Altaria.

Bersambung..

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Published: June, 24th 2021
Revised: June, 8th 2024

Altaria [Completed] || RevisedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang