Sesampainya di kamar hotelnya Altaria langsung mengamuk. Semua benda yang dilihatnya akan dilemparnya, dihancurkannya dan dibanting.
Altaria menghirup udara sebanyak-banyaknya ketika ia sudah cukup dapat menguasai dirinya sendiri.
Rasanya seperti ini. Sesak sekali. Altaria tahu tapi tetap saja ia merasa seperti dicekik. Tidak ada kah yang benar-benar tulus padanya?
Altaria menjerit keras saat suara pintu terdengar diketuk. Jeritannya berhenti, ia berbalik menatap pintu yang masih diketuk itu. Dengan suasana hati yang buruk Altaria membuka pintu dan siapa yang menyangka orang itu menyambanginya di sini, Altair.
Altaria menahan perasaan di dadanya dengan kuat, rahangnya mengetat, ia menatap pria itu dengan tajam. “Ada apa?”
Altaria dapat melihat ekspresi Altair yang seperti sedang menahan amarahnya. Altair mendorong pelan bahu putri sulungnya untuk masuk tidak lupa menutup pintu. Namun begitu berada di dalam tanpa disangkanya ia melihat kondisi ruang tamu yang hancur berantakan yang membuatnya langsung menatap Altaria
“Kamu baik-baik saja?”
Kening Altaria mengerut. “Langsung saja katakan tujuan Anda kemari.”
Ingatkan Altaria untuk membuat perhitungan pada Kendra karena keberadaannya diketahui.
Altair yang tadinya hendak marah kini mendesah pelan, ia menatap Altaria dengan sendu.
Kedua matanya meneliti Altaria dengan lekat. Kedua iris yang sama dengannya yang dulu menatapnya penuh kasih kini penuh dengan amarah, senyuman yang mirip dengannya yang dulunya sering tersenyum cerah kini enggan hadir untuknya. Dapat dilihatnya kedua mata anak gadisnya yang lelah dan banyak tekanan.
Putri sulungnya sudah dewasa dan mandiri. Ia baru menyadarinya, anak yang dulu sering diajaknya bermain, berkemah, melakukan semua hal yang diinginkannya kini menatapnya tidak bersahabat. Hubungannya dan Altaria sudah tidak sama sejak sepuluh tahun lalu. Tidak lagi hangat, tidak lagi berwarna, semuanya redup dan dingin.
“Kenapa kamu melakukan itu, Tira? Kamu tahu sendiri sepenting apa mereka untuk perusahaan kita.”
Altaria berdecak pelan. “Mereka itu cuma sampah. Untuk apa saya menyimpan sampah yang ada akan membusuk dan saya tidak suka itu.”
“Tira, mereka sudah bekerja dengan Papa selama hampir dua puluh tahun dalam jatuh bangunnya perusahaan dan perusahaan tetap bertahan itu semua karna mereka.”
Altaria tersenyum miring. “Dengan cara kotor.”
Altair tidak membantah itu, tetapi orang-orang itulah yang sudah sangat setia padanya. “Tidak ada cara bersih dalam berbisnis, Tira, kamu tahu itu dengan jelas.”
“Saya sangat tahu, tapi tidak serendahan mereka. Saya tidak sudi bekerja dengan orang-orang rendahan, derajat saya tinggi,” katanya dengan tegas. Biarkan saja ia dikatakan sombong, karena memang kenyataannya posisinya berada di atas mereka.
“Kamu bisa dalam bahaya karna hal ini, Tira. Bukan hanya kamu tapi juga Mama dan Helva.”
“Saya sudah memperkirakannya dari jauh-jauh hari.”
Altair menghirup udara dengan pelan. “Baik, Papa tidak akan ikut campur. Kalau begitu sekarang katakan di mana Mama dan adikmu? Kemarin Papa ke rumah kamu tapi mereka tidak ada. Mereka di mana, Tira?”
Altaria tersenyum miring lalu tak lama kemudian tawa remeh mengalir darinya. Ia memandang Altair dengan kelit jenaka. “Sepeduli itu? Bullshit. Yang jelas saya sudah membawa Mama saya dan adik saya ke tempat yang aman dan tentunya tidak akan bisa Anda temukan,” katanya diakhiri dengan tatapan dingin.
Altair memandangi Altaria dengan lekat. “Bisa kamu berbicara sama Papa dengan baik? Papa masih orang tua kamu sebesar apa pun kesalahan Papa sama kamu yang bahkan Papa nggak tau apa itu.”
Tentu saja Altaria tertawa, ia tergelak keras sambil memegangi perutnya. Kening Altair mengerut melihat tawa putri sulungnya. Ia mempertanyakan adakah yang lucu dari perkataannya.
“Orang tua? Anda?” Altaria tertawa sambil bertepuk tangan keras. “Aduh.. Lucu sekali Anda.” Altaria mengusap air di sudut matanya lalu melayangkan tatapan mengejek pada sosok yang enggan diakuinya sebagai Ayahnya itu. “Bahkan Anda nggak tau kesalahan Anda itu apa.” Altaria mendesah kesal. Ia mengalihkan pandangannya pada ponselnya lalu dengan cepat mengetikkan pesan pada sekretarisnya. “Orang tua saya hanyalah Mama saya. Papa? Saya tidak pernah punya sejak sepuluh tahun lalu.”
Ia berkata sambil berjalan menuju pintu dan sedikit membukanya.
Altair sudah tidak tahu harus dengan cara apa lagi berbicara dengan Altaria. Anaknya itu terlalu keras dan angkuh. Altair hendak menyahut namun disela oleh beberapa orang yang masuk ke dalam kamar.
Altair menatap Altaria dan empat orang pria berbadan besar dengan pandangan tidak percaya. “Kamu melakukan ini pada Papa, Tira?”
Altaria memilih tak acuh. Ia memberi anggukan pada keempat pria berbadan besar dan kekar itu.
“Mari, Tuan, ikut kami.”
Altair menggeleng-gelengkan kepalanya tidak percaya dengan hal yang baru diterimanya. “Katakan kesalahan Papa bukan bersikap seperti ini, Tira. Bagaimana Papa bisa memperbaiki diri kalau kamu tidak menjelaskan apa pun.”
Sejujurnya Altaria sangat marah dengan penuturan Altair itu namun ia memilih menekan perasaannya. “Ken, tuntun Tuan Altair keluar dari kamar saya. Saya mau ke kamar dulu, oh, tolong carikan saya teh merah ya.” Usai berkata seperti itu pada Kendra tanpa memandang Altair sama sekali, Altaria melangkah masuk ke dalam kamarnya tidak lupa mengunci pintunya.
Langkahnya terasa berat ketika berjalan menuju ranjang. Ia merebahkan dirinya di kasur dalam posisi telentang. Napasnya berulang mulai terasa tidak teratur.
Hari ini terasa berat seperti biasanya.
Sudah terlalu lama Altaria berteman dengan beban dan kesendirian ini. Ia berdiri sendiri dan bertahan sendirian. Di akhir hari, Altaria terkadang bingung harus mengadu pada siapa. Memang apa yang dirasakan dan dialaminya adalah hasil dari perbuatannya sendiri. Harusnya ia tidak mengeluh karena ini pilihannya tapi Altaria hanya merasa jengah.
Disetiap harinya yang dipikirkan adalah bagaimana bertahan hidup di antara para pemangsa. Tidak mengandalkan perasaannya dan dipaksa harus berjalan berdasarkan kewarasan dan rasionalitasnya.
Altaria mendesah berat.
Ia memandangi plafon kamar dengan pandangan kosong.
Dan di antara pandangannya itu, Altaria bersembunyi di bagian sudut ruangan. Sosok lain menggantikannya, sosok yang hanya akan muncul ketika sangat tertekan, Jolika.
Jolika menatap sekelilingnya lalu mengambil posisi duduk. Kemudian kedua kakinya dinaikkan ke atas kasur dan memeluk lututnya dengan erat. Tubuhnya bergetar pelan. Sambil menyembunyikan wajahnya di antara kakinya, Jolika menggeleng-gelengkan kepalanya kuat.
Di sore hari itu, Jolika tenggelam dalam ketidakberdayaan dan kepasrahannya.Bersambung..
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Published: June, 2021
Revised: June, 6th 2024

KAMU SEDANG MEMBACA
Altaria [Completed] || Revised
ЧиклитMenjadi anak sulung dari dua bersaudara yang mana adiknya merupakan seorang perempuan juga membuat Altaria harus mau menjadi pemimpin perusahaan. Namun sebelum ada adiknya, Altaria sendiri sudah belajar keras dan melatih dirinya nanti untuk kelak me...