27. Cih, Papa?

2.6K 291 14
                                    

Empat hari setelah Altaria menerima Ethnan kembali. Ia direcoki oleh pria itu yang selalu mendatangi kantor entah saat waktu makan siang atau untuk menjemputnya di kantor yang tentu saja tidak perlu dilakukan.

Sehingga jengah, itu yang dirasakan Altaria akan semua perhatian dan tindakan Ethnan. Meski juga Altaria harus mengakui kegigihan dan usaha Ethnan padanya namun Altaria tidak merasa nyaman.

Memaafkan adalah hal yang mudah untuk dilakukan tetapi bekasnya masih terdapat di sana.

Pada hari ini dengan penuh alasan untuk menghindari Ethnan ia berhasil.

Altaria menatap Johansson dan Feren dengan malas.

“Lima hari lo ngelak tapi nggak untuk hari ini,” kata Feren tegas.

Altaria mendengkus pelan. “Bisa berhenti ngerocos nggak sih? Sakit kuping gue.”

Feren yang gemas pun memukul lengan Altaria yang terasa kencang itu. “Gue begini karna gue peduli.”

“Bang, bawa lakban nggak? Mau gue lakban mulutnya itu.” Altaria beralih menatap Johansson yang sedang sibuk dengan ponselnya.

Johansson lalu mengangkat kepalanya menatap Altaria. “Lo harus liburan, Tir.” Johansson tidak menanggapi perkataan Altaria itu, ia justru berbicara hal lain.

Altaria yang baru saja memasukkan potongan steak ke mulutnya terhenti sebelum kembali makan setelah berkata, “lusa gue liburan sekalian melakukan sesuatu.”

Johansson dan Feren saling berpandangan sebelum menjatuhkan pandangan mereka lagi pada Altaria.

“Siapa kali ini?” Tanya Feren sambil meletakkan sendoknya di atas meja.

Altaria mendesah pelan. “Sahabatnya Ethnan.”

“Apa yang dia lakukan?” Giliran Johansson yang bertanya.

Altaria tersenyum kecil yang dilihat Feren dan Johansson sebagai senyuman mengejek. “Bermain-main sama gue tentunya.”

“Tir, jangan gitu.. Kesalahan dia gue yakin nggak sefatal itu.”

Penuturan Feren tersebut membuatnya ditatap Altaria dengan tajam. “Bayangkan calon suami lo dicium perempuan lain dan hampir berciuman setelahnya. Apa yang lo rasakan?”

Feren tidak pernah diceritakan hal ini oleh Altaria jadi tentu saja ia terkejut. Berbeda halnya dengan Johansson yang sudah menebak sikap Altaria berdasarkan kegilaannya berlatih tempo hari dan mengajak anak bungsunya untuk menginap.

“Dia lakuin itu?” Feren seakan memastikan pendengarannya.

“Ya.” Altaria menyesap winenya dengan perlahan. Siapa pun yang melihat cara Altaria memegang dan meminum wine itu akan terpesona karena ia terlihat cantik, anggun dan berbahaya. “Gue cuma ingin melampiaskan amarah gue aja. Nggak bakal gue bikin mati kok.”

“Tira!” Feren sontak menegur Altaria yang dengan mudahnya mengucap kata itu.

“Apa?” Altaria menanggapinya dengan santai.

Johansson mendesah pelan. “Tira, kalo kayak gini lo bakal diganti sama dia. Lo sendiri yang memicunya. Gue dan Feren udah dikasih tau sama Dokter Mia bukan ngejaga lo, Tir.”

Altaria mendengkus. “Setelah gue pikir-pikir kayaknya bagus dia muncul. Gue mulai malas sama semuanya. Muak lama-lama.”

Feren sungguh merasa gemas dengan sahabatnya ini. Yang benar saja Altaria ingin digantikan. “Enggak boleh, Tira. Bisa kacau nanti. Lo harus bertahan. Lo masih punya gue dan Bang Johan juga Kak Sora dan Dokter Mia.”

Altaria mengabaikannya dengan memilih kembali menyesap winenya. Memang masalah itu tidak akan pernah habis dalam hidup hanya saja Altaria sungguh mulai muak dengan kehidupannya. Entah itu keluarga besar Altair, Altair sendiri mau pun perusahaan dan sekarang ditambah Ethnan. Rasanya ia ingin kabur saja.

“Tira, lo punya kami. Please, inget itu disaat lo mulai menjauh,” kata Feren.

Altaria menatap Feren dan Johansson bergantian. “Iya.”

Johansson menggeleng pada Feren ketika Feren hendak berbicara lagi. Altaria baru saja melakukan sesinya dengan Dokter Mia jadi sebaiknya jangan memancing emosinya karena emosinya masih kurang stabil saat ini.

“Lo habis ini mau ke mana? Mau ikut gue ketemu Merry nggak?” Johansson bertanya.

“Nggak. Gue mau langsung pulang.”

“Ya udah. Kami anterin lo pulang,” ujar Feren.

“Gue ‘kan pake supir.”

Feren menggeleng tegas. “Bodo amat. Pokoknya kita anterin.”

Altaria mendesah pasrah. “Oke. Cabut sekarang aja.”

Lalu ketiga orang itu pun beranjak dari restoran.

Mobil yang dikendarai oleh Johansson dan Feren berhenti tepat di depan rumah Altaria. Mereka menunggu sampai mobil Altaria masuk barulah mereka akan pergi. Namun sepertinya niat itu harus ditunda karena terdengar teriakan dari dalam rumah. Johansson dan Feren saling menatap lalu dengan cepat keduanya keluar dari mobil dan masuk ke dalam.

Altaria menatap pria itu dengan tajam. Raline yang berdiri tepat di sebelah Altaria itu sudah menangis, jika ditanya tentang Helva, gadis itu belum pulang, katanya ia masih ada kegiatan di kampus.

Altaria mengepal kedua tangannya dengan erat. “Tampar lagi,” katanya dengan nada rendah. “Ayo, tampar saya lagi tapi saya tidak akan pernah membiarkan Mama dan Adik saya keluar dari rumah ini dan menginjakkan kaki di rumah itu,” desisnya dengan dingin.

Altair menatap Altaria dengan nanar. Ia baru saja menampar Altaria, selama ini sekurang ajar apa pun sikap anaknya itu tidak pernah sekali pun Altair bermain tangan tetapi entah mengapa kali ini Altair melakukannya.

“Tira.” Raline berkata dengan lirih agar Altaria berhenti memicu Papanya.

Johansson dan Feren yang melihat dan sudah mendengar keributan tadi pun berjalan mendekat pada Altaria dan menariknya mundur, sembari Feren mengusap-usap punggungnya dengan lembut untuk menenangkan Altaria.

“Papa minta maaf, Tira. Papa.., Papa nggak sengaja.” Getaran dalam suara itu dapat terdengar jelas oleh semuanya termasuk Altaria namun tak dipedulikannya.

Tangis Raline semakin deras melihat perseturuan Ayah dan anak itu. Sebenarnya ia ingin tahu alasan di balik sikap dingin Altaria itu. Akan tetapi anak sulungnya itu tidak pernah memberi jawaban dan kini ia justru harus menyaksikan pertengkaran mereka lagi.

Altaria tersenyum sinis. “Tentu saja, mana mungkin Anda setega itu sama saya dan Mama saya ‘kan?” Altaria tertawa pelan. “Tapi nyatanya Anda memang setega itu. Dan sekarang lebih baik Anda pergi dari rumah saya.”

“Tira, kita omongin ini baik-baik ya?” Raline mencoba untuk berbicara.

Altaria menggeleng tegas tanpa melihat Ibunya. “Keluar sekarang, Tuan Altair.”

Altair meraup wajahnya dengan frustasi. “Papa cuma mau kalian kembali ke rumah, Tira. Apa salah Papa sampai kamu dengan teganya membawa Mama dan Adikmu untuk keluar dari rumah? Pulang yuk, Nak, ke rumah kita.”

Johansson melihat tangan Altaria yang gemetar. Dengan cepat ia memegang tangan yang terkepal kuat itu. “Maaf, Om, saya Johansson teman Altaria. Saya rasa sebaiknya Om kembali lagi nanti. Mengingat Altaria yang mungkin capek dan ini juga sudah malam.”

Altaria melepas tangan Johansson dengan kasar. “Dia tidak akan pernah kembali ke sini!” Lantang Altaria bersuara dan itu membuat Raline semakin menangis.

Altair mendesah, Altaria terlalu keras bahkan semakin kurang ajar, tetapi ia tidak mau emosi menguasainya lagi dan membuat Altaria semakin tidak suka padanya.

“Itu Papa kamu, Tira. Hormati dia. Jangan dibentak seperti itu,” kata Raline setelah mencoba mengendalikan tangisannya.

Altaria menoleh pada Raline. Ia menatap Ibunya dengan tajam, jika jeli terdapat luka mendalam di sana. “Papa? Papa saya sudah mati sepuluh tahun lalu.”

“Altaria! Mama nggak pernah ajarin kamu begitu. Kamu pikir bagus hah?!” Raline membentak Altaria dengan keras namun Altaria justru tidak kendur dengan pendiriannya.

“Tira, tahan diri lo. Jangan ngamuk,” bisik Feren pelan kini ia sudah merangkul Altaria agar gadis itu sedikit sabar saja.

Altaria mendengkus keras. Ia melepas pelukan Feren. “Aku.. Lebih baik aku nggak punya Papa dari pada punya Papa kayak dia!” Altaria bersuara tinggi lalu setelahnya ia keluar rumah dan dengan cepat disusul Feren.

Johansson menghela napas kuat. “Om, saya rasa Om tahu alasan Altaria seperti itu. Kalau tidak tahu cobalah meminta maaf jangan hanya terus bertanya alasannya dan Tante, yang kuat ya, Tan? Tira itu anak baik hanya saja dia memang lagi emosi saja. Saya dan Feren akan berbicara dengannya.”

Raline mengangguk. “Tolong ya, Johan.”

“Iya, Tante. Kalau begitu saya permisi, Om, Tante.” Setelah mendapat anggukan dari kedua Orang Tua Altaria, Johansson pun keluar menyusul Feren dan Altaria.

Johansson bersyukur karena Feren memaksa untuk mengantar Altaria pulang. Kalau tidak, entah apa yang akan dilakukan Altaria nantinya.

Altair tertunduk dan kembali berpikir keras akan sikap Altaria yang semenjak sekolah menengah atas itu berubah. Raline membuang mukanya dari Altair, ia mengusap kedua matanya.

“Kamu pulang aja, Air. Aku akan tetap di sini.”

“Tapi, Lin, aku butuh kamu.”

Raline menggeleng. “Demi Tira, Air. Tolong. Dia lebih butuh aku dari pada kamu.”

Altair mendesah pelan. “Aku akan kembali nanti.”

“Nggak. Jangan pernah ke sini lagi.”

“Alin!”

“Tolong, Air. Aku mohon sama kamu. Turutin maunya Tira.”

Altair menatap Raline dengan lekat sebelum kemudian mengangguk pasrah. “Baik. Tapi kesabaranku ada batasnya, Alin. Kalau kurasa sudah terlalu lama, aku akan datang dan menyeret kamu pulang.”

Raline hanya mengangguk sebagai jawaban. Altair pun memilih pamit setelah mengecup kening Raline. Sepeninggal Altair, Ibu dua anak itu jatuh terduduk di lantai. Hatinya terasa sesak dan sakit dengan semua ini.

Di lain sisi Altaria dibawa ke apartemen Feren. Gadis itu kini tengah duduk bersandar di ranjang Feren. Ia memandang ke depan dengan kosong.

Feren yang sudah tidur itu tidak tahu bahwa Altaria berganti menjadi sosok yang selama ini mati-matian dihilangkan Altaria.

Altaria tersenyum miring. Banyak strategi mengalir di kepalanya dan sepertinya ia harus memulai dari perusahaannya.

Bersambung..

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Ceritanya mulai masuk konflik yaa siapkan diri kalian hahaha

Published: May, 20th 2021
Revised: June, 6th 2024

Altaria [Completed] || RevisedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang