Perlahan kepala Stela mundur ke belakang setelah pagutan bibir terlepas. Mata cokelatnya terbuka dan memandangi wajah Vincent yang tidak lagi meringis kesakitan. Sebuah senyum getir tergambar di parasnya.
"Maafkan saya, Pak. Saya hanya ingin buat Bapak tenang," ucap Stela galau di tengah perasaan yang campur aduk.
Tangan Vincent terangkat ke atas, membelai lembut rambut Stela. Apa yang telah dilakukan gadis itu mampu menyita perhatiannya dari foto yang sempat membuat kepalanya sakit.
"Apa yang kamu lakukan tadi menunjukkan hubungan kita bukan sebatas pasien dan psikiater, Stela."
Stela mengalihkan pandangan ke arah foto Kirania yang terjatuh di lantai. Dia beringsut, lalu mengambil foto itu dan menyembunyikannya di saku celana jeans. Khawatir jika Vincent melihatnya lagi.
"Masa sih, Pak?" Stela tersenyum awkward.
"Buktinya kamu peluk dan cium saya barusan."
"Itu karena saya nggak tahu harus berbuat apa? Bapak nggak mau dikasih obat penenang juga."
Vincent mendesah, kemudian berujar, "Kamu seperti itu dengan pasien lainnya?"
"Saya antar Bapak ke kamar ya? Bapak harus istirahat, ini udah siang loh." Stela mengalihkan pembicaraan.
Pria itu bergeming.
"Ayo, Pak. Saya nggak mau Bapak sakit lagi kayak tadi." Stela menarik lengan Vincent agar berdiri.
"Saya bukan anak kecil yang disuruh tidur siang, Stela."
"Pak?" protes Stela menekuk wajah.
"Ya sudah, saya tidur siang tapi sama kamu juga. Bagaimana?"
"Heuh?" Kening Stela berkerut tak paham maksud Vincent.
Vincent menarik tangannya menuju kamar. Dia kemudian mendudukkan Stela di pinggir tempat tidur.
"Kamu suruh saya tidur siang, 'kan?"
Kepala Stela mengangguk pelan.
"Sekarang kamu berbaring di sana dan temani saya tidur," suruh Vincent mengerling ke sisi kanan kasur.
Mata cokelat Stela melebar seketika. "What? Tidur dengan Bapak?"
Kepalanya menggeleng cepat. "Big no! Saya ini masih gadis dan nggak mungkin tidur dengan cowok."
Vincent tertawa mendengar perkataan Stela. "Kamu nggak berpikir saya meminta kamu begituan, 'kan?"
Mata Stela berkedip pelan seiringan dengan bibir yang menganga. "Kenapa Bapak suruh saya tidur di sana?"
"Saya hanya minta kamu temani saya sampai tidur, Stela. Nggak lebih! Saya ini tahu batasan mana yang boleh dan nggak boleh dilakukan." Mata elang Vincent tampak mengecil.
"Tapi gimana jika nanti Bu Widya dan Candra lihat?"
Vincent bergerak menuju pintu kamar, lalu menutup dan menguncinya.
"Pak?" Mata Stela kembali melebar bersamaan dengan tangan yang bersilang di depan dada. Dia menelan ludah karena hanya berdua saja dengan Vincent di kamar yang tertutup rapat.
Pria itu malah tertawa melihat ekspresi Stela yang tampak berlebihan. Dia berdecak sambil memandanginya.
"Kamu pikir saya mau macam-macam? Saya tidak seburuk itu, Stela." Vincent menarik napas panjang. "Kamu tadi khawatir jika Mama dan Candra lihat, jadi saya tutup dan kunci pintunya."
Tubuh Stela langsung lemas karena tidak bisa lagi mencari alasan. Sementara Vincent masih tersenyum dan menggerakkan ujung dagu meminta gadis itu berbaring di tempat tidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
A MAN IN A TUXEDO (TAMAT)
RomanceFollow akun penulis dulu yuk, sebelum dibaca ^^ *** Stela tak pernah membayangkan menikah dengan seorang penderita Anterograde Amnesia. Kontrak menjadi psikiater pribadi keluarga Oliver, tak hanya membuatnya harus menyamar sebagai sekretaris pribadi...