BAB 32: Kenyataan yang Tidak Diketahui

2.1K 202 2
                                    

"Mama saya sahabat Ibu?" tanya Stela lirih.

Sulit baginya untuk menerima kenyataan ini. Bagaimana bisa seorang wanita kaya raya berteman dengan orang biasa seperti ibunya?

"Maaf tidak mengatakannya saat kita bertemu pertama kali, Stela." Widya menatap Stela penuh kelembutan. "Ada beberapa hal yang ingin saya pastikan terlebih dahulu, sebelum mengungkapkan yang sebenarnya.

Stela memilih diam dan menunggu Widya menceritakan semuanya.

"Saya dan Sherly, Mama kamu, bersahabat dari SMP (Sekolah Menengah Pertama). Dia satu-satunya sahabat yang selalu ada untuk saya." Senyuman terukir di wajah Widya saat mengenang kebersamaan dengan Sherly, Ibu Stela.

"Dulu kami pernah berjanji. Jika dia memiliki anak laki-laki dan saya memiliki anak perempuan atau sebaliknya, kami ingin menjodohkan mereka."

Gadis itu masih menegakkan radar agar bisa menangkap apa yang disiarkan oleh Widya dengan baik.

"Setelah tamat SMA, saya kuliah di Paris untuk mewujudkan cita-cita menjadi seorang desainer. Saat itulah saya dan Mama kamu berpisah dan tidak pernah lagi bertemu. Saat kembali lagi ke Indonesia, saya mendengar kabar kalau Mama kamu telah meninggal." Widya diam sejenak, menarik napas panjang.

"Dua tahun setelah Mama kamu meninggal, saya pernah datang berkunjung ke Bukittinggi. Waktu itu kamu masih sangat kecil."

Stela menganggukkan kepala. "Saya masih usia sepuluh tahun waktu Mama meninggal, Bu."

"Saat tahu kamu menjadi psikiater, saya mencoba mencari tahu di rumah sakit mana kamu bekerja. Kebetulan saya juga butuh psikiater untuk membantu Vincent." Tampak kelegaan di wajah Widya saat ini.

"Jadi Ibu sengaja memilih saya?"

Widya mengangguk cepat. "Saya sengaja memilih kamu sebagai psikiater pribadi Vincent. Saya juga berharap kalian bisa dekat dan mengenal satu sama lain."

"Jujur saat Vincent ingin menikahi Kirania, saya keberatan. Tapi karena saya hanya ingin Vincent bahagia, saya ikhlaskan dia menikah dengan Kirania. Sayang sekali pernikahan itu tidak pernah terwujud, karena kejadian naas itu." Raut sendu kembali menghiasi wajah Widya.

"Mungkin memang kamu jodoh Vincent, Stela. Sehingga Tuhan tidak mengizinkan dia menikah dengan Kirania. Kamu lihat sekarang dia jadi jatuh cinta denganmu," paparnya lagi tersenyum pilu.

Stela menundukkan kepala dalam. Semua yang dikatakan oleh Widya masih mengejutkannya. Almarhumah Sherly pernah menjodohkan gadis itu dengan anak sahabatnya sendiri. Jika sudah seperti ini bagaimana Stela bisa menolak?

"Papa sudah tahu tentang ini, Bu?" Akhirnya Stela bersuara setelah hening beberapa saat.

Widya menganggukkan kepala. "Papa kamu setuju tanpa ragu, Stela. Mama kamu pernah mengutarakan tentang perjodohan ini kepadanya."

Stela mengusap wajah. Kenapa tidak ada satu katapun terlontar dari pria itu tentang perjodohan dirinya? Paling tidak, ia harus menanyakan dulu pendapat Stela.

"Tapi Bu, saya ini psikiater Pak Vincent. Nggak mungkin me—"

"Siapa bilang tidak mungkin, Stela? Saya yakin kamu bisa bersikap profesional meski telah menikah dengan Vincent. Justru sangat bagus untuk perkembangan kesehatan Vincent."

Habis sudah semua alasan-alasan Stela. Semua dimentahkan oleh perkataan Widya. Dia hanya bisa diam dengan sekelebat pikiran yang tidak bisa diutarakan.

"Bulan depan kalian akan menikah. Keputusan saya dan ayah kamu sudah bulat."

Stela menegakkan kepala lagi ingin melayangkan protes, namun diurungkan.

"Bagaimana dengan Pak Vincent, Bu? Apa dia setuju?" Hanya pertanyaan itu yang keluar dari bibir tipisnya.

A MAN IN A TUXEDO (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang