Sakit kepala yang dirasakan Vincent kini terasa berkurang setelah minum obat pereda nyeri. Dia tidak mau mengkonsumsi obat penenang yang diberikan oleh Stela, karena bisa saja membuatnya tidur dan lupa dengan apa yang dilaluinya sejak pagi hingga sekarang.
"Kita pulang sekarang ya?" bujuk Stela saat mereka duduk di kursi yang ada di dalam toko perhiasan.
Vincent menggelengkan kepala. "Saya udah nggak apa-apa, Stela. Kita harus membeli cincinnya sekarang."
Gadis itu menarik napas panjang saat tidak berhasil membujuk Vincent pulang.
"Ya udah, habis ini kita pulang. Kencan masih bisa weekend nanti. Kamu harus istirahat."
Vincent tersenyum sambil memandangi Stela, kemudian mengangguk.
"Udah kuat berdiri?"
Vincent mengangguk lagi. Stela mengulurkan tangan menyambut pria itu berdiri. Mereka berdua kembali bergerak ke tempat cincin yang tadi dilihat.
"Tolong ambilkan yang ini," pinta Vincent kepada pelayan sambil menunjuk cincin emas putih dengan diamond berbentuk tiara di bagian tengah.
"Kenapa nggak beli buat nikah aja? Sayang banget 'kan kalau beli dua?" saran Stela.
"Saya belum melamar kamu dengan cincin, Stela. Kamu mau saya lamar kamu kayak tadi aja?"
"Nggak pa-pa sih. Aku 'kan—"
"Sini tangan kamu," pinta Vincent meraih jemari Stela. Dia memasangkan cincin itu di jari manis tangan kirinya.
"Cantik," pujinya tersenyum lembut.
"Saya ambil yang ini dan ini juga," ujar Vincent menyerahkan cincin yang tadi dipasangkan di jari manis Stela dan menunjuk cincin untuk pernikahan.
Setelah memilih cincin pernikahan, mereka segera pulang.
"Mau naik taksi online atau taksi biasa?" tanya Stela begitu tiba di lobi.
"Taksi biasa aja biar cepat," jawab Vincent mengeratkan genggaman tangannya.
Pria itu sangat menyukai sentuhan tangan Stela. Terasa begitu hangat dan nyaman.
Stela mengangkat tumitnya agar bisa mengedarkan pandangan mencari taksi. Tak lama dia mengembuskan napas lega saat melihat taksi kosong memasuki area drop-off pengunjung mall.
Begitu penumpang turun, mereka langsung menaiki taksi tersebut. "Arah Taman Menteng ya, Pak," ujar Stela.
Taksi terus melaju menuju jalan Jenderal Sudirman. Stela sebenarnya ingin menanyakan apa yang membuat Vincent merasakan sakit kepala, namun ditahannya. Saat ini ia menduga ada hal yang membuat pria itu mengingat kenangan yang terlupakan, seperti yang pernah terjadi sebelumnya.
Begitu taksi berhenti di depan pagar rumah keluarga Oliver, mereka segera turun. Stela mengantarkan Vincent ke kamarnya terlebih dahulu. Di Rumah tidak ada orang, selain penjaga dan pelayan. Sepertinya Widya masih berada di kantor.
Mereka berdua segera menaiki tangga. Stela berdiri di depan kamar Vincent, setelah tiba di lantai dua.
"Kamu tidur dulu ya," suruh Stela tersenyum ringan.
Vincent menggelengkan kepala. "Saya mau tidur kalau kamu temani."
Kening Stela berkerut. "Lagi nggak ada siapa-siapa loh di rumah. Nggak enak, ntar dikira ngapa-ngapain."
"Bagus dong, biar pernikahannya bisa dipercepat," goda Vincent mengerling usil disambut dengan wajah mengerucut dari Stela.
Stela ingat sesuatu. Dia harus menanyakan apa yang membuat kepala Vincent sakit saat di mall. Tidak ada salahnya menemani pria itu tidur sebentar.
KAMU SEDANG MEMBACA
A MAN IN A TUXEDO (TAMAT)
RomanceFollow akun penulis dulu yuk, sebelum dibaca ^^ *** Stela tak pernah membayangkan menikah dengan seorang penderita Anterograde Amnesia. Kontrak menjadi psikiater pribadi keluarga Oliver, tak hanya membuatnya harus menyamar sebagai sekretaris pribadi...