Vincent tersenyum menanti jawaban Stela. Gadis itu masih diam tak berkedip selama dua menit.
"Gemesin banget sih kamu," ucap Vincent sambil mengelus pipi chubby Stela.
"Nggak ada syarat lain, Vin? Masa mau pinjam laptop dan kamera doang harus terima cinta lo sih? 'Kan nggak keren," tawar Stela dengan suara pelan sekali.
"Syaratnya gampang kok. Tinggal jawab yes or no." Vincent mengedipkan mata.
"Harus banget nih?"
Vincent mengangguk yakin dengan senyum masih mengembang. Belakangan ini dia menjadi banyak tersenyum, seakan ada yang merasukinya.
Mampus. Gue harus gimana nih? Nggak dijawab, dia nggak mau kasih dan kalau nggak dikasih gue— batin Stela meronta-ronta.
"Jadi?" Vincent memiringkan kepala dengan mata berkedip pelan.
"Ya Allah. Lo kok jadi begini sih? Kayak orang kerasukan tahu. Serem gue lihatnya." Stela pura-pura bergidik.
"Kerasukan cinta kamu, Stela. Tanggung jawab dong."
"Tapi lo janji ya. Kalau gue jawab, lo harus pinjemin laptop dan kameranya."
"Kamu juga harus janji setelah menjawab nggak boleh ingkar. Kalau setuju menerima cinta saya, kamu harus segera pesan tiket pesawat ke Padang."
Stela memejamkan mata beberapa saat. Otaknya sudah tidak bisa berpikir dengan baik lagi sekarang. Yang ada di pikirannya adalah bagaimana cara untuk mengakhiri perasaan Vincent?
Setelah menarik napas panjang akhirnya Stela bersuara dan berkata, "Oke gue terima perasaan lo."
"Kedengarannya kok kurang ikhlas ya? Kayak terpaksa gitu kamu jawabnya." Vincent menyipitkan mata sambil memangku tangan.
"Trus gue harus gimana?" tanya Stela frustasi.
"Coba ngomongnya dari hati," pinta Vincent menahan senyum. Dia senang melihat ekspresi Stela yang seperti ini.
Stela menghela napas lagi lalu membuangnya perlahan. Dia memejamkan mata beberapa saat. Mata cokelat lebarnya kini memandang wajah Vincent dengan lekat lalu beringsut mendekatinya.
Kedua tangan Stela menangkup pinggir pipi Vincent.
"I love you too, Vincent," cetusnya saat jarak di antara wajah mereka semakin terkikis.
Bibir Stela kini menyentuh bibir dengan lengkung sempurna milik Vincent. Keduanya tenggelam dengan kegiatan berbagi embusan napas dan saliva itu dalam waktu yang cukup lama. Stela perlahan membuka mata saat tautan bibir itu terlepas.
"Udah percaya?" risik Stela dengan napas yang memburu keluar dari bibir dan hidung bersamaan.
Vincent mengangguk sambil tersenyum manis. Dia menarik Stela ke dalam pelukan.
"Jangan tinggalin saya, ya?" pintanya dengan berbisik.
Stela mengangguk di bahu Vincent dengan hati bergemuruh.
"Laptop dan kameranya saya kasih nanti sebelum tidur ya?" Vincent memberi kecupan di kening Stela.
Stela mengangguk setuju. "Sekarang main dulu?"
Vincent menggeleng. "Mood saya untuk main COD hilang. Mau main sama kamu aja."
"What?" Mata Stela mendelik nyalang.
"Kamu nggak mikir yang aneh-aneh, 'kan?" Vincent tersenyum usil.
"Ng-nggak kok." Stela jadi salah tingkah.
Vincent menepuk paha meminta Stela merebahkan kepala di sana. Gadis itu perlahan merebahkan kepalanya.
"Kira-kira Papa kamu izinkan saya nggak ya?" tutur Vincent sambil membelai lembut kening Stela.
KAMU SEDANG MEMBACA
A MAN IN A TUXEDO (TAMAT)
RomanceFollow akun penulis dulu yuk, sebelum dibaca ^^ *** Stela tak pernah membayangkan menikah dengan seorang penderita Anterograde Amnesia. Kontrak menjadi psikiater pribadi keluarga Oliver, tak hanya membuatnya harus menyamar sebagai sekretaris pribadi...