BAB 7: Percakapan Saat Lari Pagi

3.1K 261 2
                                    

Ketika matahari mulai menampakkan diri, Stela memutuskan untuk lari pagi di sekitar perumahan mewah tempat rumah keluarga Oliver berada. Memanfaatkan masa libur dengan berolahraga, sebelum mulai bekerja menjadi psikiater sekaligus sekretaris pribadi Vincent Oliver adalah pilihan yang tepat.

Siang hari ini, ia juga akan mendapatkan pendidikan khusus, belajar bagaimana menjadi seorang sekretaris. Bukan karena Stela akan menjadi sekretaris betulan, tapi agar lebih meyakinkan orang-orang di perusahaan. Dia tidak akan menerima tugas khusus selama di kantor, hanya duduk menemani Vincent di ruang kerja. Memastikan tidak ada yang curiga dengan kondisi kesehatan CEO sebuah perusahaan di bidang broadcast tersebut.

100 meter dari kediaman keluarga Oliver, Stela melihat seorang pria bertubuh atletis sedang berlari mengenakan hoodie berwarna abu-abu dengan celana panjang. Earphone terpasang di telinga, menandakan orang itu sedang mendengarkan lagu sambil berlari.

"Pak Vincent?" gumamnya mempercepat langkah mendekati pria itu.

Dia bisa mengenali hanya dengan melihat postur tubuh Vincent. Itulah kelebihan Auristela, ingatannya kuat, bisa mengingat seseorang hanya dengan satu kali pertemuan.

"Selamat pagi, Pak Vincent," sapa Stela begitu berlari pelan di samping Vincent.

Vincent berhenti saat melihat gadis yang kini berjalan di sampingnya. Kening terlihat mengerut dengan tatapan bingung. Dia melihat Stela yang mengenakan baju kaus biru tua lengan pendek dan celana panjang, lengkap dengan sepatu kets. Rambut terikat sebagian ke belakang.

Pria itu segera melepas earphone yang digunakan.

"Saya Auristela Indira." Stela mendekatkan kepala ke telinga Vincent dan berbisik, "Psikiater pribadi Bapak."

Stela yakin Vincent lupa siapa dirinya, sehingga memperkenalkan diri lagi.

Tangan Vincent terlihat merogoh sesuatu dari saku hoodie, kemudian mengeluarkan kertas-kertas berukuran kecil. Bukan kertas, tapi lebih tepatnya tiga lembar foto. Setelah melihat foto ketiga, pandangannya beralih ke arah Stela. Dia membalikkan lembar foto itu dan melihat tulisan di belakang: Dokter Stela, Psikiater.

Candra selalu memberikan foto-foto orang yang baru ditemui oleh Vincent. Terutama orang yang akan bertemu dengannya dalam jangka waktu panjang, seperti Stela. Dia tidak ingin membuat orang-orang curiga, jika saja pria itu tidak mengenalinya. Ini juga bisa meminimalisir, jika ada orang jahat yang mengaku kenal dengan atasannya.

Sebuah senyuman terukir di wajah tampannya. "Maaf, Dokter Stela. Saya—"

"Nggak apa-apa, Pak. Saya memahaminya," sela Stela tersenyum, "Bapak sendirian?"

Vincent menggeleng. "Sekarang nggak, ada kamu di sini."

Pria itu kembali berlari kecil setelah mengulurkan tangan, mempersilakan Stela melanjutkan lari pagi bersama dengannya. Dua ratus meter kemudian, mereka berhenti di Taman Menteng. Keduanya kini duduk di ayunan yang ada di dalam taman.

"Bapak sering lari pagi?" tanya Stela memecah kesunyian.

"Sepertinya begitu. Dulu setiap akhir minggu saya selalu lari pagi. Mungkin sekarang hampir setiap hari, karena nggak kerja." Vincent tersenyum samar.

Stela memiringkan kepala, menoleh ke arah Vincent. Jika seperti ini, pria itu terlihat sangat normal seakan hidup dalam kesempurnaan. Tampan, mapan, tubuh atletis dan terlihat rendah hati meski terkadang dingin. Pria idaman setiap wanita. Gadis itu yakin banyak wanita yang mengejarnya hingga saat ini, jika tidak tahu penyakit yang sedang dideritanya.

Tatapan mata Stela berubah sendu saat membayangkan hari-hari yang dijalani Vincent. Setelah otaknya terisi kenangan yang baru dialami, namun keesokan hari menjadi kosong hilang tak berbekas.

"Kamu jangan melihat seperti itu, Stela. Saya sudah biasa menjalani hari seperti ini. Ibarat ember bocor yang mengering setiap harinya walau sudah terisi penuh."

Stela terkesiap saat tahu Vincent bisa membaca pikirannya.

"Saya janji akan menemukan cara agar Bapak bisa mendapatkan ingatan Bapak kembali."

Vincent tertawa kecil mendengar ucapan Stela. "Psikiater dan juga dokter ahli saraf yang pernah menangani saya angkat tangan. But thanks for giving me a hope."

"Bapak ragu karena saya masih muda, ya?" Stela menaikkan alis.

"Bukan, saya hanya pesimis. Sudah nggak ada harapan."

"Jangan pernah berkata seperti itu, Pak!" protes Stela nyaris dengan suara meninggi, "Tuhan sesuai dengan prasangka hamba-Nya. Maksudnya jika Bapak berpikir udah nggak ada harapan, maka harapan itu benar-benar nggak ada. Tapi, jika Bapak berpikir bisa sembuh dan ingatan Bapak akan kembali lagi, maka yakinlah itu akan terjadi."

"Saya yakin Bapak bisa sembuh. Ingatan Bapak akan kembali lagi," sambung Stela menurunkan lagi nada suaranya.

Kedua alis Vincent terangkat. "Wah! Apa kamu baru saja membuat saya kagum?"

"Eh? Maksudnya, Pak?" tanya Stela di sela jantung yang terasa berdebar mendengar pujian Vincent.

Husshh, bisa diam nggak sih? Sekarang bukan waktunya berdebar, wooy! protes Stela dalam hati pada jantungnya sendiri.

"Saya suka semangat dan sifat optimismu itu." Vincent tersenyum lebar, seakan melihat sebuah harapan dari ucapan Stela. "Apa yang akan kamu lakukan?"

Bola mata Stela terangkat ke atas, berpikir sambil menjepit bibir.

"Mengganti diari Bapak dengan diari digital," jawab Stela.

"Diari digital? Maksud kamu mengetik di laptop?"

Kepala Stela berputar ke kiri dan ke kanan. "Video recording. Mulai hari ini Bapak nggak lagi menulis diari di buku, tapi merekam video apa yang telah Bapak lalui hari itu. Saya sudah meminta Candra untuk memasang kamera CCTV di kamar dan ruangan yang sering Bapak datangi. Selain itu Bapak juga bisa merekam ringkasan kejadian dalam satu hari."

"Oke. Nice. Paling nggak saya nggak perlu lagi menulis buku diari," kata Vincent mengangguk.

Setiap pagi setelah bangun tidur, Vincent selalu melihat daftar kegiatan rutin yang harus dilakukannya. Candra telah menulis semua dan menempelkannya di cermin yang ada di kamar.

"Sebelum Bapak bekerja nanti, saya akan meminta Candra untuk membelikan pulpen yang bisa dijadikan alat perekam."

"Pulpen?"

Stela mengangguk cepat. "Pulpen yang bisa merekam semua percakapan Bapak dengan orang-orang yang Bapak temui. Saya rasa akan banyak orang yang Bapak temui di sana. Setidaknya itu bisa membantu agar Bapak bisa ingat hal-hal penting yang dibicarakan sehari sebelumnya."

"Video recording dan voice recording. Not bad."

"Untuk yang lainnya, Bapak nggak perlu khawatir. Saya akan menjadi diari hidup yang akan membantu Bapak." Stela mengalihkan pandangan ke arah Vincent. "Sesuai kontrak, saya akan selalu berada di samping Bapak. Kecuali jika Bapak ke toilet."

Vincent tertawa mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Stela. "Kamu akan selalu di samping saya?"

"Selama di kantor dan bepergian, Pak. He-he," decit Stela tertawa aneh menyadari kerancuan kalimat yang dikatakannya.

"Kamu nggak capek jika setiap hari harus memperkenalkan diri kepada saya?"

"Nggak ada istilah capek dalam pekerjaan, Pak. Menjadi psikiater adalah impian saya sejak dulu. Saya mencintai profesi dan pekerjaan saya. Begini-begini, saya punya tanggung jawab besar terhadap pekerjaan, Pak." Stela tersenyum lebar sehingga gigi kecilnya terlihat.

"Saya suka itu. Senang menjadi pasien seorang psikiater yang memiliki semangat tinggi, optimis dan bertanggung jawab seperti kamu, Stela." Vincent mengulurkan tangan dengan sebuah senyuman terukir di bibirnya.

Kedua pandangan mata mereka beradu saat Stela menerima jabatan tangannya. Seketika gadis itu menahan napas dengan jantung berdebar saat melihat sorot mata elang memikat Vincent.

Deg-Deg!



Bersambung....

Cielah Stela, bertemu pandang aja udah berdebar-debar. :p

A MAN IN A TUXEDO (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang