"Pak Vincent udah di bawah?" tanya Stela saat melihat tidak ada tanda-tanda kehidupan di kamar Vincent.
Candra diam, masih menatap takjub Stela.
"Candra?" Stela mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah pria itu.
"Woi!!" Kali ini Stela memukul pelan lengannya, membuat Candra terkesiap.
"Eh?"
"Pak Vincent mana?"
"Oh, eh. Pak Bos udah nunggu di bawah." Candra mengedipkan mata, berusaha mengembalikan fokus pikiran.
"Mampus gue. Masa Bos udah di bawah, sementara sekretarisnya masih di sini?!" Stela bergegas berjalan meninggalkan Candra, namun langkahnya berhenti melihat pria itu masih berdiri di tempat.
Gadis itu kembali lagi menarik lengan Candra, sehingga nyaris terseret menuju tangga.
"Ini cewek tenaga kuat banget, ya?" Candra bersuara mendelik pada Stela.
Langkah Stela berhenti di pertengahan tangga, lalu mendekatkan kepala ke arah Candra.
"Emang gue kuat. Lo baru tahu ya?" Mata lebarnya membesar seketika.
Napas Candra seakan terhenti saat melihat bola mata cokelat terang lebar itu berada tepat di dekatnya. Tiba-tiba jantung terasa terpacu, berisik di dalam dada.
Stela melanjutkan langkah turun ke lantai dasar. Di dekat pintu keluar, ternyata Vincent telah menanti di sana.
"Selamat pagi, Pak Vincent. Saya—"
"Auristela Indira, Psikiater pribadi saya yang sekarang menyamar jadi sekretaris pribadi." Vincent tersenyum samar dengan alis terangkat.
Stela tersenyum menganggukkan kepala.
"Saya lihat video di diari digital yang kamu berikan," sambung Vincent kemudian.
"Berangkat sekarang, Pak?"
"Sure. Kita akan berangkat sekarang." Vincent melirik ke dalam rumah, mencari Candra.
"Candra mana?"
Stela menoleh ke dalam rumah dan melihat Candra berjalan ke arah mereka. "Itu, Pak."
Setelah Candra mendekat, mereka segera bergerak menuju mobil Mercedes Benz GLC 63 yang terparkir di depan pintu masuk.
Candra membuka pintu, mempersilakan Vincent duduk di kursi belakang. Dia menoleh sekilas ke arah Stela, lalu bergegas ke sisi lain mobil, membuka pintu kiri bagian depan.
"No, Dokter Stela bisa duduk di belakang dengan Saya." Terdengar suara Vincent dari mobil.
Pria itu kembali menutup pintu depan dan membuka pintu belakang. Stela segera duduk di samping Vincent. Keduanya duduk sedikit berjarak, sehingga masih bisa diduduki satu orang lagi.
Perlahan mobil berwarna putih itu segera meninggalkan pekarangan rumah, setelah Candra duduk di kursi kemudi. Vincent lebih suka mobil itu dikendarai oleh asistennya dibanding harus menggunakan sopir pribadi, kecuali pada situasi tertentu.
"Kamu berasal dari mana?" tanya Vincent setelah mobil berjalan 200 meter.
"Dari Bukittinggi, Pak. Sumatera Barat."
"Oh, orang Minang, ya?"
"Bener, Pak."
"Lulusan kedokteran jiwa di mana?" tanya Vincent lagi.
"Universitas Indonesia."
"Jakun (Jaket Kuning, akronim almamater UI)?"
"Bener lagi, Pak." Stela tersenyum kaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
A MAN IN A TUXEDO (TAMAT)
RomanceFollow akun penulis dulu yuk, sebelum dibaca ^^ *** Stela tak pernah membayangkan menikah dengan seorang penderita Anterograde Amnesia. Kontrak menjadi psikiater pribadi keluarga Oliver, tak hanya membuatnya harus menyamar sebagai sekretaris pribadi...