BAB 49: Kritis

2.1K 163 4
                                    

Widya mendelik nyalang menatap sang Menantu. Selama kenal dengan wanita paruh baya itu, tak pernah sekalipun Stela melihat ibu mertuanya semarah ini. Dia tidak berani melihatnya, sehingga menundukkan kepala.

"Sa-saya membawa Vincent ke apartemen tempat peristiwa nahas itu terjadi, Ma," aku Stela di sela gugup yang mendera.

Tubuh Widya lunglai seketika. Candra segera menyambut, lalu mendudukkannya di bangku yang ada di depan ruang ICU. Tarikan napas berat terdengar dari hidung wanita itu. Tak lama berganti isakan pilu menangisi keadaan putranya saat ini.

"Aku minta kamu menjaga Vincent dengan baik, Stela," lirih Widya melihat Stela masih dengan tatapan penuh amarah.

"Ma-maafkan saya, Ma. Saya hanya ingin ingatan Vincent kembali lagi."

"Ingin ingatannya kembali??" Nada suara Widya kembali meninggi. "Kamu lihat sekarang apa yang terjadi kepadanya? Hah?!"

Widya menangkup kedua tangan di depan wajah saat air mata mengalir di pipi. Rasa takut kehilangan Vincent datang lagi menyergap. Kini putranya kembali berada di ruang ICU sama seperti dua tahun lalu, setelah kematian Kirania.

"Maafkan saya, Ma," sesal Stela masih dengan kepala tertunduk dan kedua tangan menyatu di depan tubuh.

Suasana menjadi hening beberapa saat.

"Pergi, Stela!" usir Widya tanpa menoleh sedikitpun kepada menantunya.

"Heuh?"

"Pergi sejauh-jauhnya dari kehidupan Vincent. Jangan pernah perlihatkan wajahmu lagi di depan kami!!" murkanya masih melihat ke arah lain.

Candra menahan diri untuk tidak berkomentar sejak tadi. Dia ingin mengemukakan pendapat, namun sadar dengan posisinya dalam keluarga Oliver sehingga mengurungkannya.

"Jangan suruh saya pergi dari Vincent, Ma. Saya nggak bisa hidup tanpa dia."

"Tidak bisa hidup tanpa Vincent katamu?!!" bentak Widya dengan mata membesar, "lihat hasil perbuatanmu! Bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi kepada putraku? Apakah kamu tidak memikirkan dampaknya?!!"

"Tapi, Ma—"

"Pergi dari sini sebelum aku panggil polisi agar memasukkanmu ke penjara!!" perintah Widya mengacungkan telunjuk ke lorong rumah sakit.

Candra segera bergerak, lalu membujuk Stela agar mengikuti permintaan wanita paruh baya itu.

"Turuti saja, Stela. Please," pinta Candra.

Pria itu tahu bagaimana kerasnya Widya ketika marah. Jika Stela masih bersikeras berada di sana, maka hal buruk pasti akan terjadi. Dia bisa saja dijebloskan ke penjara saat ini juga.

"Tapi, Can. Gue pengin tungguin Vincent di sini," sanggah Stela terisak.

Candra memejamkan mata dua detik, setelah itu membujuk Stela lagi.

"Kamu bisa tunggu Dokter Donny di ruangannya, nanti aku beritahu beliau agar ke sana. Mau ya? Biar aku yang jaga Vincent di sini dan kasih kabar sama kamu," bujuk Candra dengan tatapan memohon.

Stela menganggukkan kepala sembari menyeka air mata yang menetes dari pelupuk mata. Dia berjalan menuju ruangan dokter ahli saraf berada dengan gontai.

"Dokter Stela," panggil Santi ketika Stela berada di sisi luar ruang ICU.

Tangis Stela pecah saat melihat sahabatnya datang. Santi segera memeluk wanita itu sambil mengusap punggungnya. Ini pertama kali baginya melihat Stela menangis pilu seperti ini.

"Apa yang terjadi sama Pak Vincent?" tanya Santi pelan.

"Gue udah celakain Vincent, San. Gue bikin Vincent menderita kayak sekarang," jawab Stela tersedu-sedu.

A MAN IN A TUXEDO (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang