Mata bulat Garry semakin membulat mendengar perkataan adiknya. Menjadi psikolog pribadi di sebuah rumah mewah yang pasti penghuninya kaya raya.
"Hah? Ada yang sakit jiwa di sini?"
Stela segera menutup mulut Garry saat mendengar kata sakit jiwa yang keluar dari bibirnya. Dia mendelik dengan gigi beradu, melihat kakaknya.
"Itu mulut bisa dijaga nggak sih?" Stela menatap tajam kakaknya.
"Lha trus kalau bukan sakit jiwa ngapain kamu kerja di sini?" Garry berbisik setelah menyingkirkan tangan adiknya.
"Nggak ada yang sakit jiwa di sini, Uda. Ada sesuatu yang nggak bisa aku ceritakan, karena bisa melanggar kontrak."
"Kontrak?"
Stela mengangguk cepat. "Sebelum bekerja, ada kontrak yang harus aku tanda tangani. Di kontrak tertulis, aku harus tinggal di sini karena harus menjaga pasien selama hampir 7x24. Eh, ada libur sih sekali seminggu."
"Sebentar. Pasiennya laki-laki atau perempuan?"
"Laki-laki," jawab Stela singkat.
"Udah tua?"
Stela menggeleng.
"Umur?"
"Tiga puluh tiga tahun."
"Waah. Uda bilangin Papa nih," kata Garry dengan nada mengancam, "Papa nggak bakal izinkan kamu tinggal serumah dengan yang bukan mahram."
Garry menyipitkan mata, tersenyum usil.
"Makanya Papa jangan sampai tahu." Stela memajukan bibir bawah dengan memberikan tatapan memelas.
"Emang kamu digaji berapa sih, kok mau-maunya kerja keras bagai kuda kayak gitu?"
Stela mengangkat telapak tangan sebelah kanan, kemudian melingkarkan ibu jari dan telunjuk dengan mengepalkan tangan kiri.
"Lima pul," —Mata Garry melotot sebelum melanjutkan kalimatnya,—"Lima puluh juta?" Kelopak mata pria itu berkedip beberapa kali.
Stela mengangguk cepat.
"Are you serious?"
Kepala gadis itu bergerak naik turun dengan cepat.
"Ada uang tutup mulut nggak nih?" Alis Garry naik turun, sebuah senyuman terukir di sudut bibir.
"Uda? Aku 'kan mau bantuin Papa lunasin hutang." Stela menekuk wajah.
"Sepuluh persen aja. Anggap kamu ngeluarin zakat."
"Kebanyakan zakat sepuluh persen itu." Stela memutar bola mata.
"Ya udah. Uda telepon Papa, ya," ucap Garry sambil mengeluarkan ponsel dari saku celana jeans yang dikenakan.
"Dua juta." Stela mengacungkan jari tengah dan telunjuk bersamaan.
Garry mengusap pelan dagu beberapa saat, pura-pura berpikir.
"Oke, deal." Garry kembali memasukkan ponsel ke saku celana.
Stela menekuk wajah dengan bibir mengerucut. Dia terkadang sebal dengan kakaknya ini. Kata-kata 'Bilangin Papa' membuat gadis itu selalu tidak berkutik dengan Garry.
"Janji nggak bilang ke siapa-siapa kalau Stela psikiater di sini ya?"
"Emang nggak boleh ada yang tau?"
Gadis itu mengangguk cepat.
"Kalau gitu nambah lagi dong uang tutup mulutnya." Garry tersenyum jahil.
KAMU SEDANG MEMBACA
A MAN IN A TUXEDO (TAMAT)
RomanceFollow akun penulis dulu yuk, sebelum dibaca ^^ *** Stela tak pernah membayangkan menikah dengan seorang penderita Anterograde Amnesia. Kontrak menjadi psikiater pribadi keluarga Oliver, tak hanya membuatnya harus menyamar sebagai sekretaris pribadi...