Keesokan pagi sekali, Stela mengendap-endap keluar dari kamar kemudian mengetuk pintu kamar Vincent. Setelah menunggu lima menit, pintu terbuka. Pria itu melihatnya dengan kening berkerut sambil sesekali menguap.
OMG, bangun tidur aja udah ganteng kayak gini. Stela mendadak cengo melihat Vincent berdiri sambil mengucek mata.
"Siapa ya?" tanya Vincent bingung.
Stela menggenggam erat laptop dan kamera yang ada di pangkuannya.
"Saya Auristela Indira, psikiater pribadi yang merangkap sebagai sekretaris pribadi Bapak." Stela mengulas senyum di bibirnya.
Vincent kembali masuk ke kamar sebentar, lalu kembali lagi dengan membawa selembar foto. Dia mendekatkan foto itu ke wajah Stela memastikan gadis itu tidak berbohong.
"Saya benar-benar psikiater Bapak. Kamar saya di sana," jelas Stela menunjuk ke arah kamarnya.
"Saya mau mengembalikan laptop dan kamera yang saya pinjam tadi malam." Stela mengangkat laptop dan kamera yang ada dalam pangkuannya.
Vincent mengusap pelan wajahnya dan melihat Stela seakan merasa bersalah. "Maaf, Dokter Stela. Saya nggak ingat sama sekali."
Dia bergeser ke kanan memberikan Stela akses untuk masuk. Gadis itu melangkah masuk, lalu meletakkan laptop dan kamera di atas meja.
"Bapak bisa melihat rekaman yang ada di laptop dan kamera itu agar bisa mengetahui lagi ringkasan kejadian sebelumnya." Stela kembali menarik bibir agar bisa tersenyum. "Saya permisi dulu, Pak. Mau bersiap lari pagi mumpung libur."
Stela melangkah ke arah pintu, namun Vincent menahan tangannya.
"Temani saya lari pagi. Mau?" pinta Vincent dengan raut wajah datar.
Stela mengurut tengkuk sambil berpikir. Dia harus menjaga jarak dengan Vincent, tidak boleh dekat lagi seperti sebelumnya.
Vincent menaikkan sebelah alis menanti jawaban Stela.
"Oke, Pak. Saya nggak bisa menolak perintah atasan," sahut Stela setuju.
"Sepuluh menit lagi kita bertemu di sana," kata Vincent menunjuk ke depan kamar.
Stela mengangguk lalu keluar dari kamar Vincent. Seketika dia mengembuskan napas saat tiba di dalam kamar.
"Gila! Napas gue tertahan sejak dia pegang tangan gue?"
Stela menepuk-nepuk kedua belah pipi, kemudian meletakkan tangan di dada. Terasa nyeri di sana saat Vincent tidak ingat dengannya. Pria itu bahkan menatapnya seolah melihat orang asing. Berbeda dengan tadi malam ketika mereka terakhir bersama.
Gadis itu menengadahkan kepala saat matanya mulai menghangat. Dia mengedipkannya berkali-kali mencoba menahan lelehan air yang mulai turun dari pelupuk netra.
"Lo kenapa sih, Stela? Ini yang lo mau, 'kan? Profesional, Stela! Lo harus bisa," hiburnya pada diri sendiri sambil memukul pelan dada yang terasa sesak.
***
Vincent mengulurkan dasi kepada Stela ketika berada di kantor. Gadis itu menatap dasi berwarna cokelat tua itu dalam waktu yang lama.
"Tolong pasangkan," pinta Vincent dengan pandangan ke arah lain.
"Kamu juga jadi sekretaris pribadi saya, 'kan?" sambung Vincent lagi.
Stela menghela napas berat, lantas mengambil dasi yang diserahkan Vincent.
Tumben ini orang minta pasangin dasi? Biasanya selama tiga bulan ini juga dia pake sendiri, gerutunya dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
A MAN IN A TUXEDO (TAMAT)
RomanceFollow akun penulis dulu yuk, sebelum dibaca ^^ *** Stela tak pernah membayangkan menikah dengan seorang penderita Anterograde Amnesia. Kontrak menjadi psikiater pribadi keluarga Oliver, tak hanya membuatnya harus menyamar sebagai sekretaris pribadi...