BAB 48: Pilihan Berat yang Harus Dilakukan

2K 164 4
                                    

Stela segera meraih tubuh Vincent yang masih menegang, karena melihat kilatan kenangan dari masa lalu. Erangan masih terdengar keluar dari sela bibirnya.

"Kamu harus coba ingat lagi kejadian di sini, Vin. Itu satu-satunya cara agar sembuh. Kamu ingat lagi siapa Kirania dan siapa yang membunuhnya," lirih Stela meski tak tega melihat suaminya seperti ini.

Ya, dia memang melakukan hal gila yang bisa saja memberikan dampak buruk bagi psikologis Vincent. Tapi Stela tidak punya pilihan lain lagi, karena tidak ingin melihat suaminya menderita karena dihantui mimpi buruk setiap hari.

Vincent semakin mengerang kuat, tangannya mencengkeram erat Stela. "AARRGGHH."

"Please, Vin. Coba ingat lagi," pinta Stela pilu.

Kilatan kenangan bersama Kirania berputar di pikiran Vincent. Bagaimana mereka bertemu, menjadi dekat, lamaran di Green Park dan peristiwa memilukan yang merenggut nyawa wanita itu. Saat Vincent menyadari sesuatu yang tak pernah diduga, tubuhnya kembali melunak ke posisi semula. Perlahan pria itu terkulai tak sadarkan diri.

"Vin, bangun!" teriak Stela memukul pipi suaminya. "Vincent, bangun!"

Tak lama pintu flat terbuka, seorang pemuda bertubuh tinggi dengan paras oriental memasuki ruang tamu.

"Pak Vincent kenapa, Stela?" tanya Candra panik.

Stela memeriksa denyut nadi suaminya. Dia bisa bernapas lega saat bisa merasakan denyut lemah di nadi Vincent.

"Vincent pingsan, Can. Bisa bantu angkat dan bawa ke rumah sakit sekarang?" Stela mengangkat tubuh suaminya pelan, agar Candra bisa menggendongnya.

Pria bertubuh tinggi itu segera menaikkan Vincent ke punggungnya, kemudian bergegas keluar dari flat menuju tempat parkir di basemen. Beruntung dia datang tepat waktu, jika tidak entah apa yang akan terjadi.

Tiba di tempat parkir, Stela segera naik dan duduk di kursi belakang. Candra meletakkan Vincent dengan posisi kepala berada di atas paha Stela.

"Apa rencana kamu tidak bahaya, Stela?" Candra melirik Stela dari spion tengah.

Wanita itu menggelengkan kepala. "Ini satu-satunya cara agar bisa menyelamatkan Vincent dari mimpi buruk itu. Lo lihat sendiri, 'kan? Meski dia berusaha menutupi keadaan yang sebenarnya, tapi gue bisa lihat kalau Vincent nggak baik-baik aja sejak mimpi itu menghantui setiap malam."

"Ya tapi kalau terjadi sesuatu sama Pak Vincent gimana?" Suara Candra sedikit meninggi, khawatir jika terjadi sesuatu kepada Bos-nya ini.

"Percaya sama gue, Can. Gue nggak mungkin celakai suami sendiri. Gue juga nggak mau sesuatu terjadi kepada Vincent," sahut Stela sambil membelai kening suaminya, hingga puncak kepala rambut model cepak itu.

Candra tidak lagi mendebat. Dia memilih fokus melihat jalan raya karena harus memacu mobil dengan cepat. Tidak sampai tiga puluh menit, mereka tiba di lobi rumah sakit Pondok Mekar.

"Tolong, Sus," teriak Candra saat melihat seorang perawat berada di pintu masuk lobi.

Seorang perawat pria datang mendorong brankar, disusul dengan dua orang lainnya. Stela membuka pintu kanan mobil, agar Vincent bisa dipindahkan ke atas brankar. Mereka semua beranjak menuju ruang penanganan khusus pasien VIP. Sementara Candra harus mengurus administrasi terlebih dahulu setelah meminta petugas valet memarkirkan mobil.

"Tolong panggilkan Dokter Donny segera, Suster," pinta Stela begitu tiba di ruang pemeriksaan.

Perawat berkerudung bergegas menuju ruangan dokter saraf, memanggil dokter Donny.

"Bertahan, Sayang. Kamu pasti bisa. Ingat, ada aku di sini menemani kamu. Seperti janjiku, aku nggak akan pernah tinggalin kamu," bisik Stela di samping kepala Vincent.

A MAN IN A TUXEDO (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang