Stela mondar-mandir di kamar, begitu pulang dari kantor. Dia masih memikirkan pertanyaan yang diajukan oleh Vincent, setelah makan siang bersama dengan Bastian. Gadis itu menyangkal semua dan tetap bersikeras mengatakan tidak pernah ada hubungan apa-apa di antara mereka, selain hubungan profesional.
Tarikan napas berat terdengar dari hidungnya. Stela butuh teman bicara yang bisa dipercaya saat ini.
Uda Garry? Santi? Kepalanya langsung menggeleng memikirkan kemungkinan curhat kepada siapa.
Gadis itu mengetuk-ngetukkan ujung jari telunjuk kanan di pelipis, memikirkan harus berbicara dengan siapa? Dua menit kemudian, bola matanya terangkat ke atas bersamaan dengan jari telunjuk.
"Candra," gumamnya.
Stela bergegas turun ke lantai bawah menemui Candra. Dia mencari ke taman belakang, ruang kerja Vincent, ruang santai dan depan rumah. Pria itu tidak ditemukan. Stela mendesah ketika gagal menemui Candra.
"Kamu cari siapa?" Terdengar suara bariton dari belakang.
"Eh?" Stela langsung memutar balik tubuh. Dia melihat Vincent berdiri tepat di hadapannya saat ini, mengenakan baju kaus dan celana pendek selutut. Mata lebarnya mengedip beberapa kali.
"Cari siapa, Stela?" Vincent memiringkan kepala ke kanan.
"Ehmm ... Itu. Mau cari Candra. Pak Vincent lihat nggak?" tanya Stela gugup.
Tawa singkat terdengar dari bibir tipis Vincent. "Jawab itu aja kamu gugup."
Vincent melipat tangan di depan dada dan memandang Stela dengan menyipitkan mata.
"Kamu ... pacaran dengan Candra?" selidik Vincent.
Stela langsung menggeleng sambil menggoyang-goyangkan tangan. "Enggak, Pak. Saya dan Candra cuma teman aja."
Senyuman terbit di wajah Vincent mendengar pengakuan dari Stela. Entah kenapa dia merasa lega dan senang ketika tahu gadis itu dan Candra hanya berteman. Hingga saat ini, dia masih belum sepenuhnya percaya dengan apa yang dikatakan psikiaternya tadi siang.
"Saya permisi dulu, Pak. Mau telepon Candra aja. Dicariin dari tadi nggak ada."
Saat bersiap ngacir naik ke lantai dua, Vincent memegang tangannya. Stela melihat ke arah tautan tangan dengan kening berkerut. Perlahan tatapan naik ke atas dan melihat mata elang pria itu yang kini sedang memandangnya.
Deg!
Jantung Stela berdebar saat mata mereka bersirobok. Napas menjadi tertahan ketika ingat dengan apa yang pernah mereka lakukan sebelumnya. Dia masih ingat bagaimana manisnya bibir tipis yang kini sedang dipandanginya. Gadis itu segera menggelengkan kepala sambil memejamkan mata.
"Kamu kenapa?" desis Vincent bingung melihat tingkah aneh Stela.
"Eh? Nggak kenapa-napa, Pak." Stela tersenyum absurd. "Ma-maaf, tangan saya, Pak."
Vincent langsung melepaskan genggaman tangannya. Dia hanya bisa memandang Stela yang kini menaiki tangga menuju lantai atas. Pria itu mengusap keras wajah menyadari apa yang telah dilakukannya.
Kembali lagi ke Stela. Gadis itu segera menutup pintu, begitu tiba di kamarnya.
"Astaga! Gue dari tadi nahan napas?" gumam Stela setelah mengembuskan napas yang tertahan selama Vincent memegang tangannya.
Setelah mengatur lagi napas yang sempat sesak. Stela segera mengambil ponsel dari atas nakas. Dia mencari nomor Candra lalu menghubunginya.
"Halo, Can," sapa Stela begitu mendapatkan jawaban.
KAMU SEDANG MEMBACA
A MAN IN A TUXEDO (TAMAT)
RomanceFollow akun penulis dulu yuk, sebelum dibaca ^^ *** Stela tak pernah membayangkan menikah dengan seorang penderita Anterograde Amnesia. Kontrak menjadi psikiater pribadi keluarga Oliver, tak hanya membuatnya harus menyamar sebagai sekretaris pribadi...