BAB 22: Rasa Yang Tertinggal

2.2K 208 2
                                    

Sepuluh menit mengamati Bastian, Stela bisa menarik kesimpulan ada sesuatu yang disimpan oleh pria itu. Pertemuan di gedung Nusantara Senayan bukanlah pertemuan pertamanya dengan Vincent. Dia belum mendapatkan clue apa-apa tentang anggota dewan termuda itu.

"Terima kasih atas kesediaan Pak Bastian untuk interview dua bulan lalu, karena itu rating acara naik drastis untuk slot malam," ucap Stela tersenyum kepada Bastian.

"Ah, itu karena stasiun televisi milik Pak Vincent sudah terkenal."

"Bapak bisa aja. Ini karena Bapak yang menjadi idola kaum emak-emak dan milenial sehingga banyak yang menonton acaranya," puji Stela berusaha terlihat wajar.

"Kalau begini ada traktiran dong, Mbak Auristela?!" canda Bastian.

"Boleh, Pak. Nanti bisa saya tagih kepada bos," balas Stela sambil mengerling ke arah Vincent.

"Silakan pesan, Pak. Saya yang traktir," imbuh Vincent.

Bastian menggosok kedua tangan lalu mengambil buku menu yang ada di depannya. Setelah menentukan makanan yang akan dipesan, mereka segera memanggil pelayan.

Politikus muda itu melirik ke arah Stela beberapa saat.

"Mbak Auristela dan Pak Vincent sedang ada pertemuan di sekitar sini?" tanya Bastian mengisi percakapan sambil menunggu pesanan tiba.

"Tidak, saya sengaja datang ke sini untuk makan siang," jawab Vincent.

"Oh, begitu." Bastian manggut-manggut, kemudian menoleh kepada Stela. "Saya tidak menyangka hubungan Anda berdua sedekat ini, hingga makan siang bersama."

Stela tersenyum kecut, sementara Vincent hanya tersenyum tipis sambil melipat kedua tangan di depan dada.

"Mbak Auristela kapan punya waktu luang?"

"Maksudnya, Pak?" Kening Stela berkerut tidak paham.

"Saya juga ingin mengajak Mbak Auristela makan siang berdua. Tidak keberatan, 'kan?" ungkap Bastian tanpa basa-basi.

Gila ini politikus. Ngapain ngajak gue makan siang? batin Stela.

"Apa boleh saya mengajak sekretaris Anda makan siang, Pak Vincent?" Bastian meminta persetujuan Vincent.

Vincent menghela napas berat. "Silakan jika Stela tidak keberatan."

Stela mengamati Vincent lama, syukurlah tidak ada tanda-tanda sakit kepala atau sejenisnya.

"Jadi bagaimana, Mbak Auristela? Ehm ... boleh saya panggil Stela juga seperti Pak Vincent?" Bastian tersenyum manis.

"Boleh, Pak. Selama panggilan ada di nama saya. Hehe." Stela tertawa aneh.

"Saya akan coba lihat jadwal dulu ya, Pak. Jika ada waktu luang nanti saya kabari."

Bastian mengeluarkan ponsel, lalu menyerahkannya kepada Stela setelah membuka kunci layar. "Bisa minta nomor ponsel Mbak Stela?"

Gayung bersambut, ini yang gue tunggu-tunggu, pikir Stela senang ketika Bastian terjerat pancingannya.

Stela segera memasukkan nomornya di ponsel Bastian, kemudian mengembalikannya lagi. "Ini, Pak Bastian."

"Terima kasih," ucap Bastian sambil mencoba menghubungi Stela. Tak lama terdengar lagu Rolling in The Deep dari ponsel Stela.

"Itu nomor saya, tolong disimpan. Kabari saya kapan Mbak Stela ada waktu luang."

"Ini nggak kebalik, Pak? Seharusnya saya yang menyesuaikan dengan jadwal Bapak." Stela nyengir kuda karena tahu jadwal anggota DPR pasti sangat padat.

"Gampang, Mbak. Saya bisa atur jadwal untuk bertemu nanti," tutur Bastian sambil mengibaskan tangan.

A MAN IN A TUXEDO (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang