Stela melihat mata sipit Candra bergantian. Dia menggigit bibir bawah ragu apakah harus mengatakan apa yang sedang dirasakannya atau tidak.
"Gue ... Gue merasa bersalah sama Pak Vincent, Can," ungkap Stela setelah diam beberapa saat.
"Kenapa?"
"Rasanya gue jahat, karena udah bohongin dia." Stela menundukkan kepala lesu.
"Hanya itu saja? Tidak ada yang lain?"
Stela menggelengkan kepala.
"Sekarang jujur sama aku, Stela. Anggap aja aku ini kakak kamu atau orang yang bisa kamu percaya."
Gadis itu mengangkat kepala perlahan, lalu melihat Candra dengan kening berkerut.
"Kamu beneran nggak ada perasaan apa-apa sama Pak Vincent?" selidiknya.
Stela diam, tidak menjawab pertanyaan Candra.
"Sekarang kamu ragu, 'kan?" Candra menarik napas berat, kemudian berkata lagi. "Sebaiknya kamu pikirkan dulu baik-baik. Jangan sampai menyesal nanti."
Stela kembali menggigit bibir bawah dengan pandangan sendu tak beranjak dari Candra. Percuma saja jika dia memiliki perasaan kepada pria itu, karena bagaimanapun Vincent adalah pasiennya.
"Gue harus profesional, Can."
Candra mendesah, melihat Stela dengan memiringkan kepala ke kanan.
"Andai Pak Vincent bukan pasien kamu. Bagaimana perasaan kamu sama dia?"
"Jangan lupa foto-foto pesanan gue ya? Kita harus bisa sembuhkan Pak Vincent." Stela mengalihkan pembicaraan.
Pria itu geleng-geleng kepala. "Aku rasanya ingin getok kepala kamu, Stela. Ditanya apa dan dijawab apa?"
"Habis kalau gue jawab jujur nanti bocor."
"Apanya yang bocor? Genteng?" canda pria itu.
"Ember. Puas lo?" Stela memutar bola mata yang masih berkaca-kaca.
"Bisa tidak sih kamu jujur saja sekali ini tentang perasaan kamu, Stela?"
Terdengar tarikan napas berat dari hidung Stela. Dia menyandarkan punggung di sofa, lalu menundukkan kepala melihat kedua tangan yang saling bertautan di atas paha.
"Jujur gue nggak tahu, Can." Sebuah senyum tipis terukir di wajahnya. "Gue happy selama berada di dekat Vincent. Perhatian dan rayuannya, gue suka. Apalagi dia udah curi—"
Stela mengurungkan niat untuk melanjutkan kalimatnya.
"Curi apa?" Candra penasaran.
Kepala gadis itu menggeleng cepat seiringan dengan tangan digoyangkan ke depan. "Nggak jadi."
Candra kembali memandangi wajah cantik yang ada di sampingnya. Jika saja Stela menjawab dengan tegas bahwa dirinya tidak mencintai Vincent, mungkin dia akan mengajaknya berkencan.
Seiring berjalannya waktu, Candra mulai tertarik dengan kepribadian Stela yang apa adanya. Keceriaannya membuat pria itu selalu merasa nyaman saat berada di dekatnya. Tapi setelah tahu ada sesuatu di antara Stela dan Vincent, Candra membuang perasaannya jauh-jauh karena tidak mungkin bersaing dengan atasannya sendiri.
"Kalau begitu, aku simpulkan kamu sebenarnya suka sama Pak Vincent tapi terhalang dengan status kamu sebagai psikiater pribadinya," komentar Candra.
"Jangan menyangkal lagi, Stela! Kamu bisa berbohong dengan kata-kata, tapi tidak dengan sorot mata kamu," sambung Candra cepat menunjuk mata cokelat Stela satu per satu, saat melihat gadis itu ingin mengatakan sesuatu.
KAMU SEDANG MEMBACA
A MAN IN A TUXEDO (TAMAT)
Roman d'amourFollow akun penulis dulu yuk, sebelum dibaca ^^ *** Stela tak pernah membayangkan menikah dengan seorang penderita Anterograde Amnesia. Kontrak menjadi psikiater pribadi keluarga Oliver, tak hanya membuatnya harus menyamar sebagai sekretaris pribadi...