"Hah?" Stela meletakkan telapak tangan di dada kiri, merasakan jantung yang semakin berdebar kencang.
"Kenapa? Kamu nggak mau?"
"Bukan gitu, Pak. Saya—"
Dengan cepat Vincent menarik tengkuk Stela, lalu memagut bibirnya lama. Gadis itu berusaha melepaskannya, tapi tidak bisa. Vincent masih melabuhkan belaian bibirnya dengan memberi isapan dan lumatan. Bersyukur tirai ruangan itu tertutup sejak tadi, sehingga tidak ada yang bisa melihatnya dari luar.
"Apa itu nggak berarti bagi kamu, Stela?" tanya Vincent setelah tautan bibir mereka terlepas.
Mata cokelat lebar Stela perlahan terbuka.
"Sampai kapan kamu menghindar? Sudah cukup main-mainnya, Stela. Saya nggak ingin kamu menjauh dari saya lagi."
Kening Stela berkerut mendengar perkataan Vincent.
"Kamu menjaga jarak dengan saya karena ingin bersikap profesional, 'kan?" Vincent menatap lekat Stela.
Stela diam dan masih melihat Vincent dengan raut bingung.
"Kamu pasti heran kenapa saya tahu dan ingat, bukan?"
Perlahan kepalanya bergerak ke atas dan bawah.
Vincent menarik napas panjang sebelum melanjutkan perkataannya.
"Kamu bisa aja hapus video yang ada di laptop dan kamera saya. Tapi kamu nggak bisa hapus perasaan yang ada di dalam diri saya. Kamu juga nggak tahu kalau saya merekam tentang kebersamaan kita di ponsel, 'kan?" Vincent menggoyang-goyangkan ponselnya tepat di depan wajah Stela.
"Jadi Bapak rekam di handphone juga?"
Pria itu menganggukkan kepala. Dia merekam ringkasan kenangan bersama dengan Stela di ponsel, tanpa sepengetahuannya. Setiap hari Vincent melihat video tersebut agar ingat dengan perasaannya kepada gadis itu.
"Saya tuliskan juga di kamar mandi, Stela. Tapi kamu selalu menghindar dari saya, karena itulah saya memilih untuk mengikuti permainan kamu."
"Tuliskan apa, Pak?"
"Saya mencintai kamu. Saya juga tuliskan agar melihat video yang ada di ponsel setiap hari," jelas Vincent.
Bulir bening tampak tergenang di pelupuk mata Stela. Sekuat apapun dia mencoba menghapus kenangan dengan Vincent, ternyata pria itu lebih gigih lagi dalam mempertahankan memory-nya.
"Maafkan saya, Pak. Saya nggak bermaksud menyakiti Bapak," ucap Stela.
Tangan Stela kini naik ke wajah Vincent. Hatinya tersiksa saat membayangkan apa yang telah dilewati pria itu. Vincent menyeka tetesan air mata yang turun di pipi chubby Stela.
"Itu bukan salah kamu, Stela. Kamu melakukannya karena ingin profesional." Vincent memandangi mata Stela bergantian.
"Bapak tahu darimana?"
"Saya dengar kamu berbicara dengan Candra beberapa bulan yang lalu. Setelahnya saya ceritakan di video, karena itulah saya berubah dingin kepada kamu karena tidak ingin kamu goyah," papar Vincent lagi.
"Bapak gigih banget ya?" Stela tertawa pilu.
"Lebih dari yang kamu bayangkan, Stela." Vincent tersenyum lembut. "So, will you marry me?"
Wajah Stela berkerut karena mendadak tangisnya pecah. Dia memukul dada Vincent pelan saat hatinya kini bergemuruh mendengar Vincent melamarnya.
Tak lama kemudian gadis itu menganggukkan kepala berkali-kali. "Yes, I will."
KAMU SEDANG MEMBACA
A MAN IN A TUXEDO (TAMAT)
RomanceFollow akun penulis dulu yuk, sebelum dibaca ^^ *** Stela tak pernah membayangkan menikah dengan seorang penderita Anterograde Amnesia. Kontrak menjadi psikiater pribadi keluarga Oliver, tak hanya membuatnya harus menyamar sebagai sekretaris pribadi...