Stela meringis kesakitan terjatuh dari tempat tidur. Dia kembali berdiri saat mendengar Vincent meneriakkan nama Kirania. Hatinya terasa tersayat ketika nama itu keluar dari bibir suaminya begitu terbangun setelah hampir satu bulan tidak sadarkan diri.
Perawat segera menelepon dokter Donny begitu melihat Vincent sadar.
"Vin? Kamu nggak pa-pa, 'kan?" tanya Stela panik saat melihat Vincent mencengkram kepalanya kuat.
Dia membelai wajah Vincent sambil menatap netra yang sangat dirindukan. Sesaat Stela tersentak tidak mendapati sorot cinta yang diperlihatkan oleh pria itu kepadanya. Hanya tatapan dingin, seolah tidak mengenal siapa dirinya.
"Kamu siapa?" Vincent bertanya setelah menepis tangan Stela yang berada di wajahnya.
Pertanyaan itu bagaikan jarum yang menusuk relung hati, terasa perih namun tak terlihat bekasnya.
"Aku Stela, istri kamu," jawab Stela dengan pandangan tidak tenang.
"Istri saya?" Vincent tertawa singkat. "Saya belum menikah. Jangan mengada-ngada."
"Aku istri kamu, Vin. Kita menikah dua bulan yang lalu. Ini buktinya," lirih Stela memperlihatkan cincin di jari manisnya. Dia juga mengerling ke arah jari manis Vincent yang juga melingkar cincin serupa.
Pria itu mengangkat tangan dan melihat cincin yang tampak longgar di jarinya. Dia melepaskan cincin itu, lantas melemparnya asal.
"Kamu jangan bohong sama saya! Mana Kirania?" kata Vincent mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan.
Air mata tak lagi bisa ditahan berlarian dari pelupuk mata wanita itu. Terasa nyeri yang teramat sangat di ulu hati saat menyadari Vincent tidak ingat siapa dirinya. Perlahan tubuh Stela merosot ke lantai, kemudian tergugu beberapa saat.
Pandangannya beralih ke tempat cincin pernikahan yang dibuang oleh Vincent. Kaki tak lagi bisa menopang tubuh, sehingga Stela merangkak mengambil cincin pernikahannya.
Tak lama dokter Donny datang, lalu memeriksa keadaan Vincent. Sementara Stela memilih diam terduduk di lantai hingga Candra datang.
"Astaga! Apa yang kamu lakukan di sini, Stela?" cetus Candra melihat Stela menangis dengan menekuk kedua kaki dan punggung bersandar ke dinding.
"Vincent, Can," isak Stela pilu, "dia nggak ingat lagi sama gue."
Candra melihat ke arah Vincent yang sedang diperiksa dokter Donny.
"Berdiri dulu. Sebaiknya kamu tunggu di luar. Mungkin dia masih shock jadinya belum ingat apa yang terjadi," bujuk Candra memegang lengan Stela.
Wanita itu menggelengkan kepala.
"Jangan seperti anak kecil, Stela. Kali ini nurut ya?" bujuknya lagi.
"Tapi gue masih ka—"
"Aku tahu kamu rindu sama Vincent, tapi kasih dia waktu dulu untuk menenangkan diri. Please!"
Setelah dibujuk akhirnya Stela berdiri dan bersiap melangkah ke luar ruang ICU. Dia melihat Vincent yang masih terbaring di atas tempat tidur, sedang diperiksa oleh dokter Donny.
"Kamu duduk di sini dulu, nanti aku keluar lagi. Oke?"
Stela menganggukkan kepala pelan.
Tak lama perawat yang tadi menjaga Vincent keluar membawakan satu botol air mineral, lalu menyerahkannya kepada Stela.
"Minum dulu, Dok. Pasti kaget tadi di dalam," tutur perawat itu menyerahkan satu botol air.
"Thanks ya," ucap Stela.
"Santi sedang ke sini. Harus ada yang temani Dokter sekarang," ujar perempuan dengan rambut di sanggul rapi itu lagi.
"Gimana keadaan Vincent?"
"Masih sedang diperiksa sama Dokter Donny, Dok. Sekarang Dokter Stela harus tenangkan diri dulu," hibur perawat tersebut sebelum kembali lagi ke dalam ruang perawatan.
Stela menggenggam erat botol air mineral yang ada di tangannya. Ketakutan kini mulai menyergap di hati saat bayangan kehilangan Vincent hinggap di pikiran.
"Gimana, Dokter Stela?" tanya Santi begitu tiba di tempat Stela duduk.
Wanita itu langsung membentangkan tangan, pertanda butuh pelukan dari sahabatnya agar bisa memberi kekuatan. Tangis Stela kembali pecah dalam dekapan Santi.
"Tenang, Stela. Kamu nggak boleh kayak gini. Pak Vincent udah sadar, 'kan?"
Stela mengangguk di bahu Santi, kemudian melonggarkan pelukan. "Dia lupa sama gue, San. Dia memanggil nama Kirania waktu sadar tadi. Rasanya sakit banget di sini," lirihnya masih terisak sambil mengusap pelan dada kiri yang terasa nyeri.
"Astaghfirullah," ucap Santi kembali menarik Stela ke dalam pelukan.
Santi tidak pernah menyangka usaha Stela membuat ingatan Vincent kembali malah membuat kenangan dengan dirinya sendiri hilang.
"Mungkin karena shock, Stela. Kamu sabar ya. Kita tunggu kabar dari Dokter Donny dulu." Santi mengusap lembut punggung Stela agar bisa menenangkan diri.
Keduanya sama-sama terdiam, hingga Widya datang dengan setengah berlari mendekati ruang perawatan ICU. Tanpa menoleh sedikitpun kepada Stela, wanita paruh baya itu menghilang di balik pintu.
Stela hanya memandang kedua tangan yang saling bertautan di atas paha. Pikirannya tidak bisa tenang sebelum mendapatkan kabar dari Dokter Donny. Paling tidak ada sedikit kelegaan di hatinya, karena Vincent sadar sebelum batas waktu yang ditentukan.
Tiga puluh menit kemudian, Dokter Donny keluar dari ruang perawatan ICU. Tidak terlihat lagi raut tegang di wajahnya saat ini. Pria itu memandang pilu kepada Stela yang masih duduk di kursi ruang tunggu.
"Ikut saya ke ruangan, Dokter Stela. Kamu juga boleh ikut, Santi," ajak dokter Donny melihat Stela dan Santi bergantian.
Kedua wanita itu langsung berdiri dan bergerak menuju ruang kerja dokter ahli saraf itu. Sesampainya di sana, mereka bertiga mengambil tempat duduk masing-masing.
"Gimana keadaan suami saya, Dok?" Stela memecah keheningan.
Dokter Donny menarik napas panjang, lalu menumpu kedua tangan di atas meja. Dia kembali melihat Stela dan Santi bergantian.
"Kondisinya saat ini sudah membaik dan ingatannya sudah kembali," ungkap pria itu kemudian.
Tampak kelegaan di wajah Stela mendengar perkataan dokter ahli saraf yang menangani suaminya itu.
"Tapi ada sebagian kejadian yang tidak diingat Pak Vincent," lanjutnya lagi.
Stela masih diam menunggu dokter itu menyelesaikan perkataannya.
"Ingatan itu berhubungan dengan kamu, Stela. Dia sama sekali tidak ingat sedikitpun kenangan bersama denganmu," papar Donny membuat tubuh Stela bersandar lesu di kursi.
"Tapi Pak Vincent bisa ingat dengan Dokter Stela lagi 'kan, Dok?" Kali ini Santi bersuara seolah mewakili isi hati Stela.
"Tentu, Santi. Tapi butuh waktu agar ingatannya kembali utuh. Apalagi saat ini dia masih shock. Terutama masih belum menerima kenyataan kematian Kirania yang tragis," sahut pria berkacamata itu.
"Apa Vincent sudah ingat peristiwa itu, Dokter?" risik Stela setelah diam beberapa saat.
Dokter Donny mengangguk pelan. Dia menarik napas panjang lagi sebelum menjawab pertanyaan Stela.
"Pak Vincent ingat semuanya. Bagaimana Kirania sampai terbunuh dan siapa pembunuhnya juga." Terdengar desahan pelan keluar dari bibirnya.
Stela memicingkan mata membayangkan bagaimana sakitnya perasaan Vincent saat ingat dengan kejadian nahas itu.
"Untuk sementara, kamu harus tahan diri dulu agar tidak menemuinya, Stela. Berikan Pak Vincent waktu menetralkan pikirannya lagi. Percayalah, dia pasti akan ingat lagi dengan kamu," pesan dokter Donny membuat hati Stela kembali remuk.
Bersambung....
Ada yang nangis? T_T
KAMU SEDANG MEMBACA
A MAN IN A TUXEDO (TAMAT)
Любовные романыFollow akun penulis dulu yuk, sebelum dibaca ^^ *** Stela tak pernah membayangkan menikah dengan seorang penderita Anterograde Amnesia. Kontrak menjadi psikiater pribadi keluarga Oliver, tak hanya membuatnya harus menyamar sebagai sekretaris pribadi...