Vincent menarik tangan Stela memasuki kawasan Kota Tua. Sebuah bangunan tua berwarna putih dengan atap khas bangunan Belanda, berdiri megah di kota Jakarta. Di depan bangunan besar berwarna putih itu terdapat area untuk pengunjung bermain sepeda atau hanya sekedar berjalan kaki.
Pria itu menggenggam jemari Stela dengan terus melangkah ke tempat penyewaan sepeda. Meski ramai pengunjung, tidak menyurutkan niat Vincent untuk mengajak Stela bermain kendaraan roda dua tersebut.
"Kamu suka warna yang mana?"
"Apa aja sih," sahut Stela sambil menggaruk kepala tak gatal.
Dia benar-benar bingung dengan perlakuan Vincent hari ini, berbeda dengan sebelum-sebelumnya. Apalagi pertanyaan yang diajukan Stela tidak dijawab hingga saat ini. Hanya sebuah cengiran yang diperlihatkan pria itu.
Vincent memasangkan topi lebar berwarna biru, khas Noni Belanda di kepala Stela. Dia juga memasang topi di kepalanya sendiri.
Pria itu naik ke atas sepeda, lalu meminta Stela berbonceng di belakang. Stela melihat dengan kening berkerut, tapi tetap naik di belakang. Kedua tangan Vincent mencari tangan gadis itu, setelah mendapatkannya, ia melingkarkan di pinggang.
"Nah, begini jauh lebih bagus," katanya.
Senyum mengembang di bibir Vincent saat kakinya terus mengayuh pedal sepeda berkeliling lapangan. Dia terlihat begitu bahagia saat menghabiskan waktu dengan Stela. Seolah tanpa beban dan masalah.
Tiba-tiba ia menekan rem kanan dan kiri secara bersamaan, sehingga sepeda berhenti dengan paksa. Vincent terlihat memegang kepala yang terasa sakit, saat kilatan bayangan melintas di pikiran.
"Kenapa, Vin?" tanya Stela mulai panik saat menyadari ada yang aneh dengan Vincent.
"Saya nggak apa-apa," jawab Vincent menoleh sedikit ke belakang.
Stela turun dari sepeda, lalu melihat Vincent dengan lekat. Dia menempelkan tangan di pipi pria itu.
"Lihat gue. Kepala lo sakit lagi?"
Vincent menggeleng sambil mengulas senyum.
"Jangan bohong, Vin! Gue ini psikiater. Sekarang kita harus pulang," ujar Stela menggerakkan bola mata seakan menyuruh Vincent turun.
Vincent menuruti ucapan Stela, kemudian beranjak dari sepeda.
"Tunggu di sini dulu. Gue mau taruh sepeda ke sana." Stela naik ke atas sepeda dan bergerak menuju tempat penyewaan, setelah itu kembali lagi ke tempat Vincent berdiri.
Gadis itu menarik Vincent keluar dari area bangunan Kota Tua, setelah memesan taksi online.
Begitu tiba di rumah, Stela mengantarkan Vincent kembali ke kamar. Dia merebahkan pria itu di kasur dan melakukan pemeriksaan.
"Masih sakit?" bisik Stela.
Vincent menggeleng pelan.
"Kalau sakit bilang aja, biar gue kasih obat." Stela mendesah dengan pandangan masih melihat Vincent. "Apa yang bikin kepala lo sakit?"
Pria itu tidak menjawab, malah mengumbar senyum manis membuat Stela memutar bola mata.
"Kamu itu gemesin. Saya suka," puji Vincent mencubit gemas pipi chubby Stela, disambut delikan mata olehnya.
"Vincent?" protes Stela.
"Kenapa? Nggak suka saya puji?" goda Vincent mendekatkan wajah.
Spontan Stela memundurkan kepala saat wajah Vincent berjarak kurang dari sepuluh centimeter dari wajahnya. Dia takut kejadian tadi malam terulang lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
A MAN IN A TUXEDO (TAMAT)
RomanceFollow akun penulis dulu yuk, sebelum dibaca ^^ *** Stela tak pernah membayangkan menikah dengan seorang penderita Anterograde Amnesia. Kontrak menjadi psikiater pribadi keluarga Oliver, tak hanya membuatnya harus menyamar sebagai sekretaris pribadi...