Stela memutar tubuh ke kanan, lalu ke kiri dalam rentang waktu beberapa menit. Hampir satu jam mencoba tidur, mata tak kunjung bisa dipejamkan. Adegan saat Vincent mencium bibirnya dua jam lalu masih terputar jelas di pikiran. Bahkan rasa manis pun masih terasa di indra pengecapnya.
Dua jam sebelumnya, tepat setelah Vincent kembali ke kamar. Stela tak henti memaki dirinya sendiri.
"Kenapa biarin dia cium lo, Stela? Lo udah nggak waras? Itu yang lo sebut profesional? Lo udah melanggar kode etik sebagai dokter. Sinting!" Itu kata-kata yang keluar dari bibirnya selama satu jam.
Stela juga memukul kepala, karena telah kehilangan logika.
"Gimana bisa ketemu dia besok? Apa lo masih punya nyali?" Kalimat demi kalimat terus meluncur dari bibir tipisnya.
Kini dia mencoba kembali memejamkan mata, tetap tidak bisa. Stela malah membelai bibirnya yang membengkak akibat ciuman tadi. Belaian lembut bibir Vincent masih terasa di bibirnya.
Vincent sama gilanya dengan Stela. Entah apa yang merasuki sehingga nekat mencium bibir psikiaternya sendiri. Bahkan sebelum kembali ke kamar, dia sempat membelai lembut pipi chubby Stela dan memberikan kecupan singkat di sana. Pria itu juga tersenyum manis.
"Stela bego. Bener-bener bego banget lo, Stela." Lagi kalimat itu terlontar saat mata masih belum terpejam, padahal waktu telah lewat dari tengah malam.
"Besok gue diam aja di kamar. Untung weekend," gumamnya lagi.
"Tapi bibirnya manis juga. Lembab dan lembut." Stela tersenyum malu-malu kucing sambil menggigit kuku.
Stela mulai tidak waras. Memaki diri sendiri, sesaat kemudian tersenyum dan ngomel-ngomel sendiri. Ck, sinting!
***
Dari pagi hingga siang, Stela benar-benar mengurung diri di dalam kamar. Dia bahkan tidak keluar dari kamar walau hanya untuk sarapan. Tepat pukul sebelas siang, perutnya mulai berbunyi.
Stela bangkit dari tempat tidur, lalu mengirimkan pesan kepada Garry.
Me: Uda, beliin makanan dong. Lapeer ... :(
Tak lama kemudian sebuah balasan pesan masuk ke aplikasi whatsapp-nya.
Uda Buruak: Tumben laper. Sarapan, makan siang dan makan malam 'kan udah disiapin :p
Stela memutar bola mata setelah membaca pesan dari kakaknya.
"Iih, apaan sih si Uda?!" Stela menekuk wajah.
"Apa minta tolong sama Candra aja?" pikirnya, "nggak ah. Nanti dia bisa curiga dan banyak tanya."
"Bodo amat ah. Mending cari makan di luar aja. Belum tentu juga Vincent inget kejadian tadi malam. Nggak mungkin dia ngomong di diari digital." Stela mengelus perut yang keroncongan.
Gadis itu segera berdiri, lalu mengambil pakaian untuk dikenakan nanti. Setelah itu ia melangkah masuk ke kamar mandi yang ada di dalam kamar.
Dalam tiga puluh menit, Stela telah selesai berpakaian dan bersiap ke luar mencari makan. Begitu pintu kamar terbuka, ia menyelipkan kepala di sela pintu. Mata bulat cokelat miliknya bergerak melihat ke kamar Vincent yang tertutup rapat. Seketika terdengar embusan napas lega dari bibirnya.
Dengan mengendap-endap, Stela melangkah menuruni tangga. Saat tiba di tangga terakhir, ia kembali mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan di lantai dasar. Setelah memastikan tidak ada orang di sana, Stela bergegas menuju pintu keluar.
Hap!
Seseorang meraih tangannya saat Stela nyaris menyentuh gagang pintu. Dia segera menoleh ke belakang dan melihat pria yang telah mencuri ciuman pertamanya.
"Mau ke mana, Stela?" tanya Vincent sambil memiringkan kepala.
Setiap pagi setelah bagun dari tidur, Vincent selalu melihat video-video penting yang telah disimpan pada file khusus. Dia menuliskan di atas kertas dan menempelkannya di cermin. Tak heran jika pria itu bisa mengenali Stela setiap hari.
"Ah. I-itu ... ehm ... Gu-gue mau cari makan dulu," jawabnya gugup.
Tak sengaja pandangannya melihat bibir lembab berwarna pink milik Vincent. Seketika kejadian tadi malam melintas di benaknya. Stela segera memejamkan mata, menghalau rekaman peristiwa yang sedang tayang di pikiran. Begitu jelas, seperti nyata.
"Mau makan di mana? Saya ikut." Vincent segera menarik tangannya ke luar.
Astaga. Ini kenapa jadi pergi sama dia? Ah, kok gini sih? Bisa nggak sih lo jauh-jauh dari gue? Jantung gue rasanya mau copot, woooi! gerutu Stela dalam hati.
Stela ingin rasanya menepis tangan Vincent, tapi pria itu menggenggam tangannya dengan erat. Dilihat dari bagaimana cara ia memperlakukannya, sudah bisa ditebak Vincent tidak ingat dengan kejadian tadi malam. Setidaknya tidak ada rekaman yang mengingatkannya dengan ciuman itu di diari digital miliknya.
Oke. Tenang Stela. Sepertinya dia nggak inget. Lo harus bersikap wajar, kalau nggak mau dia curiga.
Stela kembali menegakkan kepala yang menunduk, lalu berusaha bersikap sewajar mungkin.
"Pengin makan bakso yang ada di Kota Tua," jawabnya dua menit kemudian.
"Jawabnya kok lama?"
"Kan lagi mikir," kilah Stela sambil nyengir kuda.
"Lo beneran mau ikut? Itu bakso kaki lima loh," sambung Stela lagi. Dia sengaja memilih bakso pinggir jalan agar Vincent mengurungkan niat untuk ikut dengannya.
"Enak nggak?"
"Enak dong. Kalau nggak mana mau gue makan di sana."
"Ya udah. Saya ikut." Vincent memaksa, masih menggenggam tangan Stela.
Dia segera menghentikan taksi yang kebetulan lewat di depan rumah, sehingga tidak perlu lagi memesan taksi online. Saat memasuki taksi, sepasang mata sedang melihat ke arah mereka dengan mengulas sebuah senyum.
Tiba di Kota Tua, Stela dan Vincent segera menuju tempat penjual bakso yang ada di pinggir jalan. Keduanya memesan dua porsi mie bakso. Seperti biasa Stela memesan dengan cabai yang banyak.
Sesekali Stela melirik pria yang duduk di sampingnya. Vincent begitu menikmati bakso. Gadis itu bisa bernapas lega setelah memastikan ia tidak ingat dengan apa yang terjadi tadi malam. Setidaknya sampai saat ini belum ada pembicaraan tentang hal tersebut.
"Gimana? Enak?" desis Stela sambil mengunyah bakso yang tinggal dua biji lagi.
Vincent menganggukkan kepala sembari mengusap keringat yang mulai menetes di kening.
Stela menelan saliva saat melihat betapa menariknya pria itu saat berkeringat. Dia menggelengkan kepala saat ciuman tadi malam kembali teringat.
"Kenapa?" cicit Vincent dengan kening berkerut.
"Nggak pa-pa." Stela kembali menggeleng lalu mengunyah bakso terakhir.
"Ini, Mas." Stela menyerahkan mangkuk bakso yang telah kosong. "Berapa semua?"
"Tiga puluh ribu, Mbak," sahut tukang bakso.
"Biar saya yang bayar," kata Vincent mengeluarkan dompet.
"Gue aja. Traktiran gaji pertama." Stela menyerahkan uang lima puluh ribu rupiah kepada tukang bakso.
Setelah menerima kembalian, mereka segera pergi dari sana.
"Yah. Kamu curang. Kalau tahu ditraktir, saya pilih tempat yang mahal," goda Vincent.
"Gue nggak akan traktir lo kalau mahal," cibir Stela.
Vincent mengusap puncak kepala Stela gemas.
"Mau main sepeda?" usul Vincent begitu tiba di dalam Kota Tua.
Stela memandang Vincent bingung, lebih tepatnya pura-pura bingung.
"Pasti menyenangkan naik sepeda berboncengan. Kayak pasangan gitu. Sekalian kita kencan."
Deg!
"Eh? Pasangan? Kencan?" Kali ini Stela benar-benar dibuat bingung dengan apa yang baru saja dikatakan Vincent.
Bersambung....
KAMU SEDANG MEMBACA
A MAN IN A TUXEDO (TAMAT)
RomanceFollow akun penulis dulu yuk, sebelum dibaca ^^ *** Stela tak pernah membayangkan menikah dengan seorang penderita Anterograde Amnesia. Kontrak menjadi psikiater pribadi keluarga Oliver, tak hanya membuatnya harus menyamar sebagai sekretaris pribadi...