BAB 2: Bertemu Dengan Keluarga Oliver

3.8K 275 4
                                    

Pagi hari pukul 07.30 WIB, Stela telah berdiri di depan pagar rumah keluarga Oliver. Sebuah kediaman mewah berukuran besar. Mata atraktif berwarna cokelat itu tampak melebar saat melihat bangunan berwarna perpaduan peach dan putih tersebut.

"Waah, rumahnya gede banget," cetus Stela takjub saat berdiri di luar pagar.

Dia memerhatikan pagar batu yang cukup tinggi. Di bagian atasnya terdapat teralis berbentuk runcing. Berbagai jenis tanaman seperti Kadaka, Pohon Palem hias dan Pucuk Merah tumbuh dengan terawat di luar pagar berwarna senada dengan rumah.

Setelah menghela napas panjang, ia memencet bel yang berada di samping pagar berwarna hitam. Tak lama, seorang penjaga membuka pintu kecil di pagar tinggi itu.

"Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?" tanya pria mengenakan pakaian berwarna hitam.

"Saya Auristela Indira, psikiater dari rumah sakit Pondok Mekar." Stela memperlihatkan kartu tanda pengenal dari rumah sakit. "Saya sudah membuat janji temu dengan Bu Widya."

"Oh ya. Monggo masuk, Mbak Auristela. Ibu Widya sudah menunggu," sambut penjaga pria dengan logat Jawa yang kental.

Penjaga itu bergeser ke kiri, memberikan akses untuk Stela masuk.

"Terima kasih, Pak," ucap Stela kepada penjaga tersebut.

Penjaga mengantarkan Stela hingga pintu rumah, lalu meninggalkannya setelah seorang pelayan wanita datang.

Orang kaya. Ini rumah udah kayak istana! seru Stela membatin setelah melangkah ke dalam rumah.

Bagian dalam didesain seperti gaya rumah Eropa, kosong di bagian tengah hanya beberapa guci dan lemari kecil yang berjejer merapat ke dinding. Di sisi kiri rumah terdapat tangga yang menghubungkan lantai satu dan dua. Kiri dan kanan tampak ruangan dengan dua pintu yang tertutup rapat. Di tengah ruangan menggantung sebuah lampu hias kristal berbentuk panjang ke bawah.

"Silakan masuk, Mbak," anjur pelayan setelah membukakan sebelah pintu ruangan kedua sebelah kiri rumah.

Stela mengedarkan pandangan ke ruang tamu. Terlihat satu set sofa berwarna krem, serasi dengan dinding yang didominasi oleh warna krem dan cokelat tua.

"Mbak bisa menunggu di sini dulu. Saya akan memberitahukan Ibu."

Gadis itu menganggukkan kepala. Dia berjalan menuju sofa dan duduk di sofa yang berukuran lebih kecil.

Beberapa saat kemudian terdengar suara kaki melangkah dengan cepat ke arah ruang tamu. Seorang pria bertubuh tinggi berdiri di dekat pintu. Dalam hitungan detik seorang wanita paruh baya terlihat memasuki ruangan. Penampilannya sangat elegan, rambut pendek dihiasi uban, ditata tinggi di bagian depan. Wanita itu mengenakan gaun lengan panjang, menutupi hingga mata kaki.

Meski telah berusia enam puluh tahun, wanita itu masih terlihat cantik. Mata cokelat gelap yang atraktif, menandakan Bu Widya bukan wanita sembarangan. Dia terlihat berpendidikan, namun terkesan rendah hati.

Stela segera berdiri, lalu mengulas senyum sebelum menyapa wanita itu. "Selamat pagi, Bu Widya."

"Selamat pagi, Dokter Auristela Indira," sahut Widya.

"Saya Widya Resmana Oliver," sambung Widya mengulurkan tangan.

Gadis itu menyambut uluran tangan Widya.

"Silakan duduk." Widya mengulurkan tangan, kemudian duduk di sofa yang berukuran panjang. Sedangkan pria muda yang datang bersama dengannya tadi, berdiri di samping tuan rumah.

Bu Widya menyandarkan punggung di sofa dan menyilangkan kaki. Dia menadahkan tangan ke samping. Pria muda itu menyerahkan kertas yang dijepit di atas papan tipis.

"Ini surat kontrak yang harus ditandatangani sebelum kamu mulai bekerja di sini, Dokter Auristela." Widya menyerahkan kontrak kerja kepada Stela.

"Kita harus mencapai beberapa kesepakatan terlebih dahulu, sebelum memulai hubungan kerja," ujar Bu Widya lugas.

Stela menerima surat kontrak yang terdiri dari tiga lembar tersebut. Matanya menelusuri setiap kalimat yang tertera di dalamnya dengan cermat. Seketika netra cokelat itu melebar saat membaca isi kontrak yang mengharuskannya tinggal di rumah ini.

"Sa-Saya harus tinggal di sini, Bu?" tanya Stela kaget dengan mata tidak berkedip.

Widya menganggukkan kepala pelan satu kali.

"Rumah ini banyak pelayan dan selalu ramai. Kamu tidak perlu khawatir." Ibu Widya menegakkan punggung. "Vincent membutuhkan psikiater yang bisa menemaninya 7x24 jam."

Bu Widya menggelengkan kepala sambil memejamkan mata. "Kamu akan diberikan waktu libur, satu hari. Saya akan memberikan insentif tambahan untukmu, juga bonus. Nominalnya ada di lembar terakhir."

Stela melihat lembaran terakhir dari kontrak. Di sana tertulis nominal yang akan diterimanya per bulan adalah Rp50.000.000,-. Bibir gadis itu membulat dengan mata menatap tidak berkedip setelah tahu nominal yang akan diterimanya perbulan.

Mendadak dia menjadi bersemangat. Tidak dipungkiri, Stela memang sedang butuh uang saat ini. Apalagi sang Ayah sudah tua untuk bekerja. Dengan menerima uang sebesar itu di luar gaji, Stela bisa meminta Ayahnya untuk berhenti bekerja dan melunasi hutang biaya kuliahnya selama ini.

Gadis itu kembali membaca lembar sebelumnya. Di sana tertulis Stela tidak boleh mengatakan apapun kepada media jika diwawancara, terutama tentang penyakit Vincent. Selain itu dia juga harus melakukan apapun yang diminta oleh keluarga Oliver. Ada beberapa point lain yang harus disepakatinya.

Pria yang berdiri di samping Widya memberikan sebuah pulpen kepada Stela.

Stela menaikkan pandangan setelah membaca dengan teliti kontrak kerja itu.

Wanita paruh baya itu menaikkan sebelah alis dan mengarahkan telunjuk ke pulpen, mengisyaratkan Stela bisa menandatangani kontrak sekarang.

Tanpa pikir panjang, Stela meneken kontrak kerja yang akan mengikatnya selama tiga tahun. Nominal uang yang akan diterima, telah menghilangkan rasa ragu dan khawatir di hatinya. Dia menyerahkan dua rangkap kontrak kerja kepada Bu Widya.

Wanita paruh baya itu membubuhkan tanda tangan pada kedua rangkap kontrak kerja. Setelah itu dia mengulurkan tangan sambil menarik kedua ujung bibir.

"Terima kasih telah bersedia menjadi psikiater pribadi putra saya, Dokter Stela. Selamat bergabung di keluarga Oliver." Bu Widya tersenyum memandangi Stela dari atas hingga bawah. "Kapan bisa pindah ke sini?"

"Eh?"

"Kamu harus melakukan penyesuaian dulu dengan Vincent sebelum bekerja, Dokter Stela."

Stela tampak bingung.

"Candra, bisa antarkan Dokter Stela pulang ke kosannya? Setelah itu bawa dia ke sini lagi." Widya memerintahkan pria bertubuh tinggi yang sejak tadi berdiri di sebelahnya.

"Baik, Bu." Pria bernama Candra membungkukkan tubuh.

"Sampai bertemu tiga jam lagi, Dokter Stela," pungkas Bu Widya sebelum meninggalkan ruang tamu.

Mata cokelat terang Stela tampak membulat. Dia harus pindah hari ini juga?

Huuh! Dokter Adam awas kalau ketemu nanti, gerutu Stela dalam hati.

"Kita pergi sekarang, Dokter?" Candra membuyarkan lamunan Stela.

"Eh? Ya," sahut Stela masih dengan raut bingung.

_______________________________

Bab 2 up. Gimana ceritanya? Udah berasa seru belum? Oh iya, Vincent belum nongol hihihi

Bab 3 nanti Vincent sudah nongol kok.. Happy reading yaa Reaphers. Jangan lupa vote dan komen juga yaa :*

A MAN IN A TUXEDO (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang