Mata lebar milik Stela perlahan mengerjap. Setelah terbuka sepenuhnya, pandangan netra cokelat itu menyapu ruangan yang didominasi warna putih. Ketika menyadari keberadaannya sekarang, dia berusaha mengubah posisi menjadi duduk. Saat mengangkat tubuh, kepala kembali terasa pusing sehingga tubuh Stela terbaring lagi di atas kasur.
"Dokter, Stela sudah sadar." Samar terdengar suara seorang wanita yang akrab di telinga Stela memanggil dokter.
"San, gue di mana sekarang?" lirih Stela sambil menggapai ke arah Santi. Dia melihat selang infus yang terpasang di tangan kirinya.
Gadis itu segera mendekati Stela yang masih lemah. "Alhamdulillah. Syukurlah kamu udah sadar, Stela."
Stela mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Ternyata Santi membawa dirinya ke rumah sakit Puri Mekar dan sekarang berada di ruang IGD.
"Kenapa gue ada di sini?" tanya Stela dengan kening berkerut.
"Kamu tadi pingsan, Stela. Jantungku rasanya mau copot lihat kamu jatuh," jawab Santi tak bisa menyembunyikan raut cemas.
Tak lama seorang dokter datang menghampirinya. Kening Stela berkerut saat tahu dokter itu adalah dokter spesialis kandungan, bukan dokter umum.
"Bagaimana, Dokter Stela? Masih pusing?" tutur dokter wanita paruh baya berkerudung.
Stela mengangguk pelan. "Kenapa Dokter ada di sini?"
Dokter itu menarik napas sebelum menjawab pertanyaan Stela. "Kamu tidak sadar sudah terlambat datang bulan, Dokter Stela?"
"Datang bulan?" gumamnya.
Sesaat kemudian dia mendesah sambil menepuk kening sendiri. "Maaf saya nggak perhatikan belakangan ini, Dok. Mungkin karena banyak pikiran."
Dokter kandungan geleng-geleng kepala. "Jangan minta maaf sama saya, Dokter Stela. Minta maaf sama janin yang ada dalam kandungan kamu."
Santi manggut-manggut sambil memasang wajah kesal. "Kamu terlalu memikirkan Vincent, sehingga nggak sadar kalau kamu hamil sekarang."
"Hamil?" bisik Stela seperti kepada diri sendiri sambil mengarahkan telapak tangan ke perut.
Sebuah senyuman tergambar di wajahnya. Kalimat syukur juga terucap di bibir tipisnya.
"Bagaimana kondisi calon bayi saya, Dok? Sudah berapa usianya?" Raut wajah Stela langsung berubah drastis. Ibarat bunga yang hampir mengering, kini kembali berputik setelah disiram air.
"Syukurlah janin kamu baik-baik saja. Hanya kekurangan nutrisi, jadi ukurannya tidak sesuai dengan usia kandungan." Dokter menyalakan alat USG yang ada di samping ranjang, lalu mengoleskan gel khusus di perut Stela. "Sekarang kita lihat lagi ya."
Dokter menempelkan benda berbentuk huruf T di perut Stela. Tak lama sebuah kantong muncul di layar monitor. Setelah memutar tombol zoom, dokter menekan tombol pause.
"Usia kandungan yang tertera di layar monitor sudah sebelas minggu. Artinya hampir melewati trimester pertama," ujar Dokter.
"Sepuluh minggu dari HPHT (Hari Pertama Haid Terakhir), Dok," kata Stela.
"Ya, artinya kita hanya punya waktu satu minggu untuk boosting pertumbuhan janin agar sesuai dengan usia kandungan. Karena itu, kamu harus dirawat secara intensif di rumah sakit," papar Dokter tegas.
"Tapi Dok—"
"Tidak ada tapi-tapi lagi, Dokter Stela. Kamu ingin anak ini lahir atau tidak?"
Santi kembali manggut-manggut setuju dengan apa yang dikatakan dokter. Jika tidak seperti itu, Stela pasti akan kembali lagi menjalani hari seperti sebelumnya, malas makan karena memikirkan Vincent.
KAMU SEDANG MEMBACA
A MAN IN A TUXEDO (TAMAT)
RomanceFollow akun penulis dulu yuk, sebelum dibaca ^^ *** Stela tak pernah membayangkan menikah dengan seorang penderita Anterograde Amnesia. Kontrak menjadi psikiater pribadi keluarga Oliver, tak hanya membuatnya harus menyamar sebagai sekretaris pribadi...