Sepasang masa elang langsung terbuka lebar. Terdengar deruan napas memburu keluar dari hidung dan mulut secara bersamaan. Pandangannya beralih ke samping kiri, tampak seorang wanita dengan rambut sebahu sedang tidur.
Vincent segera mengusap wajah hingga kening yang berkeringat setelah mengalami mimpi yang aneh. Seorang pria mengenakan tuxedo memegang besi panjang berlumuran darah duduk di sofa sebuah flat apartemen mewah.
Setelah menenangkan diri, dia beranjak dari tempat tidur, kemudian bergerak ke kamar mandi. Vincent membasuh wajahnya dengan air dan memandang dirinya di wastafel. Kening tampak berkerut dalam.
"Kenapa mimpi itu terasa nyata? Rasanya benar-benar terjadi," gumam Vincent masih melihat pantulan wajahnya di cermin.
"Tapi wajah orang itu nggak jelas dan buram," sambungnya lagi.
Semakin dirinya memikirkan mimpi itu, kepalanya mulai terasa pusing. Vincent menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya perlahan. Dia berusaha menenangkan diri, karena tak ingin membuat Stela tahu dan khawatir.
Terlebih dua hari lagi mereka akan berangkat ke Dunster melewati jalur darat dengan kereta api. Tentu saja harus menjaga stamina agar tidak lelah begitu tiba di sana.
Setelah tenang, Vincent keluar dari kamar mandi dan bergabung lagi dengan Stela di tempat tidur. Wanita itu masih tertidur nyenyak, tanpa tahu apa yang baru saja terjadi kepada suaminya.
Come on, Vin. Itu hanya mimpi. Jangan terlalu dipikirkan, bisiknya dalam hati.
Vincent kembali merebahkan tubuh di kasur, lantas memeluk erat Stela dari belakang. Dia sangat suka tidur sambil berpelukan seperti ini, terasa nyaman. Mimpi aneh barusan lenyap dari pikiran ketika mendekap istrinya erat.
"Kamu memang vitamin buat saya, Stela." Vincent memberi kecupan di puncak kepala istrinya.
Saat ingin memejamkan mata, Vincent merasakan Stela bergerak dalam pelukan. Keinginan untuk tidur kembali sirna sudah ketika istrinya memutar tubuh menghadap dirinya.
"Nggak tidur, Sayang?" gumam Stela dengan suara serak khas bangun tidur.
"Baru saja bangun. Kamu jadi bangun karena saya peluk ya?"
Stela menggelengkan kepala sambil mengeratkan pelukan. "Kebetulan aja sih bangun."
"Sayang," panggil Vincent.
"Hmmm?" Stela mendongakkan kepala sehingga bisa melihat suaminya.
Sebuah kecupan diberikan Vincent tepat di bibir Stela.
"Hanya mau berikan kamu ciuman saja," sahut Vincent kemudian.
Stela berdecak, kemudian tersenyum.
"Besok mau ke mana?" tanya Stela.
"Terserah kamu. Mau belanja tidak?"
"Belanja? Emang kamu tahu di mana toko yang bagus di sini?" Kening Stela berkerut.
Vincent manggut-manggut. "Tahu dong. Nggak jauh dari sini, ada department store milik keluarga suami Raline Rahardian. Kamu tahu dia, 'kan?"
"Raline Rahardian produser terkenal yang sekarang menetap di London? Yang nikah sama bule dan sering bilang 'kambing' kalau mengumpat, 'kan?"
"Iya."
"Kamu kenal sama dia?"
"Nggak kenal banget sih. Pernah diwawancara beberapa kali sama TV-O. Kebetulan sahabatnya juga pegawai saya, kalau nggak salah namanya Dian."
"Ooh gitu." Bibir Stela membulat. "Nama tempatnya apa?"
"Liberty London Department Store. Kalau kamu mau besok kita shopping ke sana. Bagaimana?" usul Vincent masih memandang netra istrinya bergantian.
KAMU SEDANG MEMBACA
A MAN IN A TUXEDO (TAMAT)
RomanceFollow akun penulis dulu yuk, sebelum dibaca ^^ *** Stela tak pernah membayangkan menikah dengan seorang penderita Anterograde Amnesia. Kontrak menjadi psikiater pribadi keluarga Oliver, tak hanya membuatnya harus menyamar sebagai sekretaris pribadi...