Perlahan Stela meletakkan kepala Vincent di atas bantal. Setelah memastikan pria itu telah tidur, ia kembali ke kamar. Suasana hatinya sangat kacau, benar-benar kalut jika tidak segera diselamatkan.
"Gue nggak boleh jatuh cinta sama Vincent. Usaha penyembuhannya nggak akan maksimal jika ada perasaan di hati gue," gumam Stela sambil mondar mandir di dalam kamar.
Berkali-kali ia mengusap wajah, menyeka rambut dan melakukan tindakan lain khas orang-orang yang sedang gusar.
"Gue harus cari cara agar perasaan Vincent nggak semakin menjadi-jadi. Gue ini profesional, psikiater profesional. Oke?" Stela kembali bicara pada dirinya sendiri.
Stela benar, jika saja memiliki sedikit perasaan pasti akan menghambat pekerjaannya. Apalagi trauma yang dialami Vincent berkaitan dengan calon istrinya. Bagaimana jika ia cemburu saat pria itu mulai ingat, bahkan meraung menangis ketika mengetahui wanita yang dicintai, meninggal di saat yang bersamaan dengan hilangnya sebagian ingatannya?
"Come on, Stela. Lo harus berpikir keras cari jalan keluar dari masalah ini. Nggak bisa dibiarkan berlarut-larut loh ini."
Sesaat kemudian Stela tersentak ketika menemukan cara yang bisa membuat Vincent tidak lagi menyadari perasaannya. Dia bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri, sekaligus mendinginkan kepala yang nyaris meledak dengan kejadian hari ini.
Sementara di kamar sebelah, Vincent kembali membuka mata begitu pintu kamar tertutup. Dia tidak ingin tidur siang ini, khawatir jika tidur ingatannya akan terhapus. Paling tidak sebelum tidur, pria itu harus merekam dulu ringkasan kejadian hari ini.
Dia mengubah posisi, bersandar di ujung kasur. Sebuah senyuman terukir lagi di bibirnya. Vincent merasa suatu keberuntungan bertemu dengan Stela. Ya, meski gadis itu jauh dari kata menarik, tapi sifat yang apa adanya dan juga lelucon yang keluar dari bibirnya, bisa membuat seorang Vincent Oliver merasa menjadi sosok berbeda.
"Kenapa dia manis banget? Aku nggak boleh kehilangan sedikitpun ingatan tentangnya." Lagi senyuman terukir di bibir seksinya.
Vincent meraih kamera dari atas meja, lalu menyalakannya.
"Hai Vincent, kalau kamu lihat video ini artinya kamu telah lupa kejadian hari ini. Oh nggak, bukan hanya kejadian hari ini saja yang kamu lupa. Hampir setiap hari kamu kehilangan memory yang baru saja terjadi."
Vincent mengubah posisi duduk di pinggir kasur.
"Kamu boleh lupa semuanya, tapi nggak boleh lupa dengan Stela. Auristela Indira, sebenarnya dia adalah psikiater kamu. Tapi seiring berjalannya waktu, dia juga menjadi sahabatmu. Ya bisa dibilang, selain Candra, dialah orang yang dekat denganmu dan bisa kamu percaya."
Vincent terdiam sesat, lalu tersenyum.
"Parahnya, kamu nggak bisa bersikap profesional. Kamu jatuh cinta pada Stela. Kalau kamu bertanya kenapa? Sudah jelas bukan karena fisiknya, dia sama sekali nggak menarik dari segi fisik. Tapi secara pribadi dia sangat menarik. Kalian berdua memiliki banyak persamaan. Teman hangout yang menyenangkan, teman main game juga, teman curhat dan ajaibnya setiap bersama dengannya kamu menemukan ketenangan yang nggak pernah kamu temukan sebelumnya."
Pria itu menundukkan kepala, kemudian mengangkat kepalanya menghadap lagi ke kamera.
"Bibirmu itu dengan nggak sopan telah menciumnya tiga kali, tanpa permisi. Entah apa dia menikmatinya atau nggak? Tapi kamu sangat menikmati bibirnya yang manis dan lembut. Oya, dia memang nggak menarik tapi cantik. Kamu suka Stela yang cerewet dan apa adanya. Jangan pernah lupakan perasaan ini. Aku nggak akan pernah memaafkanmu jika sampai melupakannya. Oke, sekian kejadian yang perlu kamu ingat hari ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
A MAN IN A TUXEDO (TAMAT)
RomanceFollow akun penulis dulu yuk, sebelum dibaca ^^ *** Stela tak pernah membayangkan menikah dengan seorang penderita Anterograde Amnesia. Kontrak menjadi psikiater pribadi keluarga Oliver, tak hanya membuatnya harus menyamar sebagai sekretaris pribadi...