Mata cokelat terang Stela membulat ketika mendengarkan ucapan Vincent. Dia menatap tanpa berkedip, berharap salah dengar.
"Sini kaki kamu," ucap Vincent mengulang kalimatnya.
Pria itu segera mengambil kaki Stela, membuka sepatu dan meletakkannya di atas paha.
"B-biar saya aja, Pak." Stela menarik kaki, namun tangan Vincent terlalu kuat memegang kakinya.
"Saya saja. Kamu terkilir karena mengikuti saya. Seharusnya bisa kasih tahu saya, jika berjalan terlalu cepat." Vincent mulai mengoleskan krim pereda nyeri di pergelangan kaki Stela.
"Tapi, Pak. Saya ini kan sekarang bawahan Bapak. Masa—" kalimat Stela berhenti saat Vincent melihat ke arahnya dengan tatapan protes.
Stela merasakan jantungnya mulai bergemuruh lagi ketika pandangan mereka bertemu.
"Dokter yang menyamar menjadi sekretaris, Stela. Kamu bukan bawahan, tapi dokter saya. Kamu mengobati saya dan saya mengobati kaki kamu!" tegas Vincent.
Stela terdiam, tak lagi berkomentar. Dia membiarkan jari Vincent memberikan tekanan kecil pada urat yang bisa saja membengkak, akibat aliran darah yang tersendat. Terasa nyeri, tapi masih bisa ditahan karena ketampanan Vincent bisa mengalihkan perhatiannya.
Dari dekat, Stela bisa melihat paras rupawan dari pria itu. Tak hanya tampan, tapi Vincent juga baik, berbeda dengan Bos kebanyakan.
Santi bener. Vincent ganteng, baik juga. Mbak Kirania beruntung punya calon suami kayak dia, batin Stela.
Sebuah senyuman terukir di wajahnya saat memandangi paras tampan tapi dingin milik Vincent. Sesaat kemudian Stela menggelengkan kepala sambil memejamkan mata.
"Kenapa?" tanya Vincent menyadari reaksi Stela.
"Eh?" Dia terkesiap, lalu berkedip. "Eng-Enggak kenapa-napa."
"Kalau nggak terbiasa dengan high heels kamu bisa ganti dengan flat shoes atau sepatu kets, biar lebih nyaman." Vincent kini berdiri sambil menutup lagi krim pereda nyeri yang ada di tangannya.
Vincent kembali lagi ke meja kerja, mulai menenggelamkan diri dengan dokumen-dokumen.
Stela mengambil tisu basah dari dalam tas dan menyerahkannya kepada Vincent.
"Biar bau krimnya hilang, Pak." Stela tersenyum tipis.
"Thanks," ucap Vincent singkat sambil menerima tisu yang diberikan Stela.
"Saya yang harusnya berterima kasih sama Bapak. Sekarang kaki saya udah nggak nyeri lagi." Stela memiringkan kepala ke kanan sambil mengulas senyum. "Terima kasih ya, Pak."
Vincent mengangguk singkat, lalu mengembalikan satu bungkus tisu basah kepada Stela. Dia kembali memfokuskan pandangan dan pikiran ke arah laptop. Sementara Stela hanya bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Sesuai dengan apa yang telah dikatakan oleh Candra tadi, tugasnya hanya duduk diam di dalam ruangan Vincent.
Bosan juga diem kayak gini. Huufhh, gue dikasih kerja apa kek gitu. Mana betah orang kayak gue diam aja seharian? bisik Stela dalam hati, mulai bosan.
"Suka game online?" tutur Vincent tanpa menoleh.
"Bapak tanya sama saya?" Stela menoleh dengan kening berkerut.
Kepala pria itu naik ke atas dan ke bawah. "Ada orang lain lagi di sini?"
"Suka, Pak. Apalagi Left To Survive dan Call of Duty." Stela nyengir kuda.
Vincent mengeluarkan sebuah ipad dari tas dan menyerahkannya kepada Stela.
"Kamu bisa main apa saja di ipad ini. Download game yang kamu suka. Tapi ingat jangan berisik. Kalau mau mendengarkan musiknya, pakai earphone."
KAMU SEDANG MEMBACA
A MAN IN A TUXEDO (TAMAT)
RomanceFollow akun penulis dulu yuk, sebelum dibaca ^^ *** Stela tak pernah membayangkan menikah dengan seorang penderita Anterograde Amnesia. Kontrak menjadi psikiater pribadi keluarga Oliver, tak hanya membuatnya harus menyamar sebagai sekretaris pribadi...