Widya berdiri terpaku saat melihat Vincent membawa Stela ke rumah keluarga Oliver. Pandangannya beralih ke arah perut menantunya yang mulai membesar. Apalagi Stela mengenakan celana yang lebih longgar dari biasanya.
Stela tersenyum gugup saat bertemu dengan ibu mertua. Dia masih belum berani menatap lama Widya, karena khawatir akan diusir dari rumah itu.
"Ingatanku sudah utuh lagi, Ma," ungkap Vincent membuat Widya menelan ludah.
"Aku ingat dengan pernikahanku dan siapa istriku." Vincent menarik napas sambil menggandeng tangan Stela, lalu duduk di sofa ruang keluarga.
"Kenapa Mama nggak kasih tahu tentang Stela?" tanya Vincent.
Widya diam tanpa menjawab pertanyaan Vincent. Hatinya kini seperti ditusuk jarum halus, perih saat membayangkan bagaimana perlakuannya kepada Stela.
"Mama khawatir kalau kamu shock lagi, Vin. Jadi kami merahasiakannya dari kamu dulu," komentar Stela membuat Widya tertohok.
Vincent mengangguk paham. Dia sama sekali tidak curiga sedikitpun kalau ibunya pernah mengusir Stela beberapa saat setelah dirinya tak sadarkan diri.
"Oya, aku punya kabar bahagia untuk Mama."
Widya berusaha mengulas senyum di saat rasa bersalah mulai menghantui dirinya, karena telah memisahkan Stela dan Vincent sebelumnya.
Vincent tersenyum lebar sambil mengelus perut istrinya. "Stela sedang hamil calon cucu Mama. Hampir tiga bulan."
Tanpa bisa ditahan lagi, air mata haru bercampur rasa bersalah turun di pipi wanita paruh baya itu. Dia membentangkan tangan ke arah sang Menantu. Dalam hitungan detik, Stela segera menghampiri Widya dengan menyambut pelukannya.
"Maafkan Mama, Sayang," bisik Widya terisak.
Stela mengangguk di dalam pelukan Widya. "Aku ngerti kenapa Mama marah waktu itu. Jangan sampai Vincent tahu ya, Ma."
Widya membuka mulut lebar mengambil udara sebanyak-banyaknya saat dada mulai terasa sesak, karena rasa bersalah.
"Putriku, Sayang. Maafkan Mama-mu ini," lirihnya lagi sambil membelai lembut belakang kepala Stela.
"Aku juga minta maaf karena udah ambil keputusan sendiri waktu itu," ucap Stela saat pelukan melonggar.
Widya menganggukkan kepala, kemudian memberi kecupan di kening Stela. "Yang penting sekarang Vincent baik-baik saja, Sayang. Terima kasih sudah menyembuhkan putra Mama."
Stela tersenyum sambil mengedipkan mata. Saat ini hatinya terasa lega, karena Widya sudah kembali lagi seperti semula. Sementara Vincent hanya bisa melihat kedua wanita yang dicintainya saling berbagi kasih satu sama lain, tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Apa tidak sebaiknya kalian tinggal di sini?" Widya melihat Vincent dan Stela bergantian.
"Stela sedang hamil muda, kasihan juga jika sendirian di apartemen. Apalagi kamu sudah mulai bekerja," sambung wanita paruh baya itu lagi.
"Bagaimana, Sayang?" Vincent meminta pendapat istrinya.
Stela mengangguk setuju dengan saran ibu mertuanya.
"Besok aku akan minta orang mengambil pakaian dan barang yang diperlukan ke apartemen," tanggap Vincent kepada Widya, kemudian mengalihkan paras kepada Stela. "Kamu mau ikut ke ruang kerja, Sayang? Ada yang mau saya bahas."
"Aku ikut Vincent ke atas dulu ya, Ma," pamit Stela sebelum ikut dengan suaminya.
"Hati-hati naik tangganya. Jaga calon cucu Mama baik-baik," pinta Widya tersenyum lega.
KAMU SEDANG MEMBACA
A MAN IN A TUXEDO (TAMAT)
RomansaFollow akun penulis dulu yuk, sebelum dibaca ^^ *** Stela tak pernah membayangkan menikah dengan seorang penderita Anterograde Amnesia. Kontrak menjadi psikiater pribadi keluarga Oliver, tak hanya membuatnya harus menyamar sebagai sekretaris pribadi...