BAB 1: Perintah Bukan Tawaran

5.5K 321 11
                                    

Seorang psikiater muda sedang duduk di sebuah ruangan konsultasi rumah sakit Pondok Mekar Jakarta. Dia sedang melayani pemeriksaan pasien yang membutuhkan penanganan masalah kejiwaan.

"Ini resep yang harus Anda minum untuk mengurangi halusinasi yang dialami, Bu." Psikiater itu menyerahkan satu lembar resep untuk mengobati Skizofrenia yang diderita oleh pasien tersebut.

"Terima kasih, Dokter," ucap pasien itu sebelum meninggalkan ruangan.

"Sama-sama, Bu." Dia berdiri sambil tersenyum singkat.

Setelah pasien meninggalkan ruangan, dia mengembuskan napas lega. Psikiater berambut pendek itu menghempaskan tubuh di kursi kerja, lalu menyandarkan punggung.

"Pasien terakhir, 'kan?" tanya Psikiater itu kepada perawat yang membantunya.

Perawat menganggukkan kepala dan menaikkan alisnya. "Anda benar Dokter Auristela Indira."

Auristela menyipitkan mata, mengambil tissue dan meremasnya lalu dilemparkan ke arah perawat itu. "Sok-sok formal, gue getok kepala lo."

"Ih, Dokter serem amat." Perawat bernama Santi pura-pura bergidik.

"Emang udah serem dari dulu, 'kan? Baru nyadar?" balas Stela mendelik dengan mata cokelat terangnya.

Stela berdiri sambil membentangkan tangan, lalu menggerakkan tubuh ke kiri dan kanan.

"Pegel?" tebak Santi.

"Ho-oh. Gimana nggak pegel? Pasien banyak banget dari tadi." Stela memutar bola mata.

Di zaman sekarang ini, semakin banyak orang-orang yang memerlukan 'sentuhan tangan' dari psikiater. Entah hanya sekedar ingin 'curhat' berbayar atau memang mengalami masalah dengan kejiwaan mereka.

"Duitnya juga kenceng, 'kan?" cibir Santi.

Stela tersenyum lebar, sehingga bibir tipisnya semakin menipis.

Kriing!

Telepon di ruangannya berdering.

"Halo, Auristela di sini," sapa Stela setelah mengangkat telepon.

"Bisa ke ruangan saya sebentar?" balas suara serak dan berat di ujung telepon.

"Sekarang, Dok?" ujar Stela sambil menggulung tali telepon dengan jari telunjuk.

"Tahun depan, Dokter Stela. Ya sekarang dong!"

Stela nyengir kuda memperlihatkan gigi kecil yang tersusun rapi, membuat pipi chubby-nya semakin melebar.

"Segera ke sana, Dok." Dia meletakkan gagang telepon, lalu bersiap menemui kepala psikiatri.

"Gue tinggal bentar ya? Mau ketemu Dokter Adam dulu."

"Ngapain?" Santi tampak penasaran. Tidak biasanya kepala psikiatri itu meminta Stela datang keruangan, kecuali untuk hal-hal yang urgent.

Stela mengangkat bahu dan melengkungkan bibir ke bawah. "Nggak tahu."

Gadis itu melambaikan tangan sebelum meninggalkan ruangan. Dia bergegas ke ruangan kepala psikiatri yang terletak di ujung koridor lantai yang sama.

Tap-tap

Langkah kakinya terus bergerak ke ujung koridor, kemudian berhenti tepat di depan pintu berwarna hitam. Stela mengatur napas yang menjadi sedikit sesak setelah berjalan cepat barusan.

Tok-tok

Dia mengetuk pintu sebelum masuk ke ruangan tersebut.

"Masuk." Terdengar suara yang sama dengan di telepon tadi, serak dan berat.

A MAN IN A TUXEDO (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang