Stela meregangkan tubuh di kasur, setelah akhirnya bisa memejamkan mata selama tiga jam. Sejak tadi malam, ia masih memikirkan perkataan Widya tentang pernikahan dengan Vincent. Jika sudah dikaitkan dengan kontrak, tentu sulit baginya untuk menolak.
Gadis itu menarik selimut lagi menutupi seluruh tubuh dengan mata terpejam. Bibirnya bergerak-gerak tidak jelas, entah sedang mengatakan apa. Barangkali kalimat-kalimat umpatan atas ketidak berdayaannya.
"Gue harus ngomong lagi sama Bu Widya pagi ini. Vincent juga belum tentu setuju dengan perjodohan ini, 'kan?" gumamnya setelah mengubah posisi menjadi duduk, sehingga selimut turun.
Tak lama kemudian, Stela menghempaskan lagi tubuhnya di kasur sambil meronta ketika ingat Vincent pasti tidak akan menolak perjodohan ini. Dia tahu persis pria itu mencintainya, meski saat ini bersikap dingin.
Setidaknya itulah yang diamati selama ini. Meski Vincent tidak ingat dengan kejadian-kejadian sebelumnya, perasaannya tidak berubah.
"Mama. Please help me!!" rengeknya sambil mendorong kaki bergantian ke bawah.
Beberapa detik setelahnya, dia kembali duduk tegak dengan rambut acak-acakan.
"Batalin aja ke London! Ya, kayaknya itu satu-satunya cara agar gue nggak dinikahkan sama Vincent," bisiknya lagi.
"Nggak harus ke London juga, 'kan? Bisa di Indonesia. Entar tanya Candra lagi, kali aja ada tempat yang berkesan bagi Vincent dan Kirania."
Dia bergegas ke kamar mandi, setelah mengambil pakaian ganti. Pagi ini sebelum Widya berangkat ke kantor, Stela harus menemuinya dan membatalkan acara jalan-jalan ke Inggris. Eh bukan, terapi di negara Queen Elizabeth itu.
Selesai berpakaian, Stela turun ke bawah menemui Widya. Dia berhenti di depan pintu kamar wanita paruh baya itu. Helaan napas panjang terdengar dari hidung sebelum tangannya terangkat ke atas mengetuk pintu.
"Siapa?" Terdengar suara dari dalam kamar setelah Stela mengetuk pintu.
"Maaf, Bu. Ini saya, Stela," jawab Stela sedikit mengeraskan suara.
"Sebentar, Dokter Stela," sahut Widya dari dalam.
Stela menyandarkan tubuh di dinding dekat daun pintu berada. Dia masih melakukan ritual untuk menenangkan diri, menarik dan mengembuskan udara berkali-kali. Gadis itu segera berdiri ke posisi tegak saat mendengar kunci pintu kamar dibuka.
"Selamat pagi, Bu. Maaf saya mengganggu pagi-pagi," ucap Stela saat melihat Widya masih mengenakan pakaian tidur.
Meski tanpa make-up, kecantikan Widya tidak pudar. Hidung mancung dengan mata lebar, kulitnya juga cokelat. Tipe wanita kesukaan bule.
Wanita paruh baya itu mengamati wajah Stela lekat. Tampak bayangan hitam di sekitar mata meski telah ditutupi oleh concealer. Selama hampir setahun ini, Stela belajar make-up dari Rizma alias Rizmanto.
"Tidak apa-apa. Sepertinya ada hal penting yang ingin kamu sampaikan." Widya tersenyum lembut kepada Stela sambil mengulurkan tangan ke ruangan yang berada di sebelah kamarnya.
"Kita bicara di ruangan saya saja," ajak Widya berjalan di depan Stela.
Stela duduk di sofa single seperti kemarin, sementara Widya duduk di sofa panjang. Gadis itu menundukkan kepala dengan pandangan melihat jari yang sedang bermain di atas pahanya.
"Sepertinya saya nggak jadi mengajak Pak Vincent ke London, Bu." Stela mulai berbicara, memecah keheningan.
Kening Widya berkerut. "Why?"
"Setelah dipikir-pikir, lebih baik saya membawa Pak Vincent liburan di Indonesia aja. Mungkin sekitaran pulau Jawa atau Bali."
Kepala Widya tampak miring ke kiri, memerhatikan raut wajah Stela. "Kamu sengaja membatalkannya, agar kalian tidak menikah, 'kan?" tebaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
A MAN IN A TUXEDO (TAMAT)
RomanceFollow akun penulis dulu yuk, sebelum dibaca ^^ *** Stela tak pernah membayangkan menikah dengan seorang penderita Anterograde Amnesia. Kontrak menjadi psikiater pribadi keluarga Oliver, tak hanya membuatnya harus menyamar sebagai sekretaris pribadi...