Sering kali kehidupan dijadikan sebagai panggung sandiwara. Bersikap seolah kita adalah orang jahat, hanya untuk mengurangi rasa sakit di hati.
-Taro Satya Aditama
🍂
Nina menatap lembaran tugas yang baru saja selesai ia print tanpa minat. Sepertinya pikiran gadis itu sedang tidak berada di sini, alias melang-lang buana entah ke mana. Otaknya yang masih dan terus saja mereka ulang percakapannya dengan Maraka semalam tadi saat keduanya berada di meja makan.
"Haidar nggak mungkin deketin kamu begitu aja, dia pasti ada maksud lain." Maraka mengatakan hal itu dengan suara yang tegas namun tetap tenang. Sedang Nina yang duduk dihadapan wajahnya sembari memakan ice cream hanya dapat menghela napas pelan. "Ngomong apa sih kamu?" kilahnya.
"Kala, please," kata Maraka dengan nada suara memohon. "Jangan begini. Aku tau kamu cuma berpura-pura—"
"Terus aku harus gimana, Maraka?" Nina yang pada saat itu langsung memotong pembicaraan saudara sepupunya. Bahkan sebuah kotak sedang berisi ice cream rasa vanilla ia biarkan meleleh begitu saja. Memilih untuk masuk ke dalam pikiran serta argument yang Maraka berikan untuknya.
"Open your head and mind, kalo udah waktunya kasih izin dia untuk masuk."
"Nggak semudah itu untuk buka hati kembali, Maraka." Nina mengatakan hal ini dengan raut wajah memelas. Bahkan yang dapat dilihat dari arah sini gadis itu tampak menangkupkan kedua tangan di depan wajahnya.
"Kamu masih takut untuk berhubungan lebih deket sama laki-laki? Atau melangkah ke hubungan yang lebih serius terkait dua perasaan dari orang yang berbeda?" Pertanyaan dari Maraka dengan sengaja Nina biarkan begitu saja. Tanpa dijawab pun, lelaki itu pasti tahu alasannya.
"Bukan takut—"
"So, what?" Lagi, keduanya yang kini bergantian. Saling memotong pembicaraan, seakan tidak membiarkan salah satu dari mereka memenangkan ajang perdebatan. Maraka saat ini masih menunggu jawaban yang akan Nina lontarkan, namun apa daya. Lagi-lagi gadis itu lebih memilih untuk diam dan menundukkan kepala dalam.
"Trust isues yang ada di dalam diri serta pikiran kamu harus dihilangin," kata Maraka sembari tangannya yang bebas tugas menarik dagu Nina. Meminta untuk menatap wajahnya. "Kamu harus tau, Kala. Nggak semua laki-laki di luaran sana itu sama kayak Papa kamu."
"Dia bukan Papa aku, Maraka!"
"Oke, sorry. Tapi apa kamu nggak capek terus-terusan bersikap kayak gini? Bahkan Rendy aja—"
"Maraka, please..." Nina memohon dengan raut wajah memelas. Meminta kepada saudara sepupunya untuk tidak berbicara pasal hal ini dan terus mengungkitnya kembali. "Kita tunggu aja, Haidar nggak mungkin punya maksud lain kan?" Bahkan tanpa sadar kalimat yang Nina lontarkan untuk Maraka pada saat itu terdapat tanda tanya di bagian akhir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lencana SK
FanfictionTrigger warning [Mental illness] : Post Traumatic Stress Disorder, Self Harm, Anxiety Disorder, Overthinking, and Feeling useless. Haechan's Alternate Universe Tentang Karenina, si gadis asal kota Bandung yang sering menampakkan wajah datar. Memilik...