LSK 3.1 Sebuah pesan dari Papa

194 57 63
                                    

Hari-hari melesat dengan cepat,siang beranjak datang dan kitatumbuh menjadi dewasa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hari-hari melesat dengan cepat,
siang beranjak datang dan kita
tumbuh menjadi dewasa. Menemui
pahitnya kehidupan, maka di salah
satu hari itu, kita tiba-tiba tergugu
sedih karena merasa kehilangan.

-Karenina Kalandra

🍂

Pagi ini Haidar ditugaskan oleh Dirga untuk menyambangi kost-kostan-nya pagi-pagi buta. Hal ini disebabkan karena pada minggu lalu Haidar yang absen untuk tidak mengikuti rapat harian yang biasanya di selenggarakan oleh para anggota Himpunan.

Haidar masih membaringkan tubuhnya di atas kasur milik Dirga ketika jam menunjukkan pukul 6 lewat 45 menit. Netra Haidar menatap keluar jendela kamar. Menampilkan rintik hujan yang sejak beberapa menit lalu turun lalu membasahi bumi. Bahkan aroma petrichor merangsak masuk ke dalam indera penciuman Haidar sebab jendela kamar terbuka lebar.

Lebih memilih untuk membuka gawai dan berselancar di dalam sana, bertepatan dengan Dirga yang baru saja menyelesaikan sesi acara mandi paginya. Laki-laki tampan bergigi kelinci itu menggeleng kepala dan berdecak pelan melihat pola tingkah adik tingkatnya.

"Nggak kuliah, Dar?" Dirga melemparkan pertanyaan kepada Haidar sembari mendudukkan dirinya di tepi kasur.

"Niatnya tadi mau berangkat, tapi barusan dapet kabar. Tiba-tiba dosennya batalin kelas, diganti tugas," jelas Haidar tanpa menatap Dirga yang kini ikut membuka gawainya.

Hening.

Sepertinya kedua manusia berbatang itu terlalu larut dalam dunia maya, membiarkan hanya suara rintik hujan juga kodok yang menemani sekitar kamar mereka. Haidar melipat bibirnya ke dalam—merasa ragu ingin bertanya serta memberi tahu Dirga tentang suatu hal.

"Bang," panggilnya berusaha menarik atensi Dirga.

"Iya?" Kini fokus Dirga telah beralih kepada Haidar sepenuhnya. Melihat pemuda itu yang berusaha bangun dari acara rebahan santai. "Kenapa?" tanya Dirga yang merasa gemas sebab Haidar masih setia menutup mulutnya.

"Mau nanya."

Mendengar hal itu sontak membuat Dirga memutar bola mata jengah. "Biasanya juga tinggal nanya, Dar."

"Tapi ini soal... Nina," ujar Haidar dengan suara pelan. yang untungnya Dirga masih dapat mendengar. Laki-laki itu mengernyit kening bingung. "Nina?" Dirga mengulang nama yang sempat disebutkan oleh Haidar, takut-takut ia salah dengar. Namun sepertinya itu memang benar, melihat Haidar yang menganggukkan kepala pelan. "Iya," jawabnya.

"Sok tanya aja, Nina kenapa?" titah Dirga.

"Seharusnya urang yang nanya begitu, Bang." Dirga menajamkan indera pendengarannya, berusaha mendekatkan diri kepada Haidar dan menatap seseorang yang sudah di anggap seperti adik kandungnya sendiri itu dengan lekat.

Lencana SKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang