Mau berbagai macam bentuk apa pun itu, perpisahan akan tetap menyakitkan bagi seseorang. Yang bisa berakibat meninggalkan banyak jejak luka. Bahkan yang paling parah, bekas luka tersebut akan tetap ada dan tidak akan pernah memudar karena hilang.
-Darwin Gumilang
🍂
Aroma Ethanol bercampur pewangi ruangan Lavender menyeruak masuk ke dalam indera penciuman Naya. Gadis itu berusaha menenangkan detak jantung yang sedari tadi memompa cepat. Mendudukan diri senyaman mungkin di sebuah sofa single yang tersedia. Naya sedang menunggu seorang Psikiater yang akan menanganinya nanti.
Yang diketahui bahwa Psikiater tersebut adalah teman dari ayahnya Maraka. Dan entah apa pula yang sedang Psikiater itu bicarakan bersama Nina juga Maraka di luar sana. Yang pasti Naya seorang diri di dalam ruangan ini. Keringat dingin sedari tadi membanjiri pelipis Naya. Melupakan sudah berapa kali pula ia menyeka cairan bening tersebut.
"Maaf karena lama nunggunya ya...." Suara tegas namun terdengar lembut di waktu yang bersamaan mengudara begitu saja. Naya menoleh kepala cepat, mendapati seorang lelaki berjubah putih dengan celana dasar bewarna hitam sedang melempar senyum teduh kepadanya. Membuat Naya hampir tertegun. Style lelaki itu sangat persis seperti Kalan jika akan memeriksa pasiennya.
"Iya... hm—"
"Panggil Om Darwin aja nggak apa-apa," sela Darwin cepat. Seakan tahu bahwa Naya terlihat kesulitan dalam memilih panggilan untuknya. Gadis itu mengangguk samar sembari mengeratkan jari-jemari di bawah sana. Membuat Darwin sekali lagi melempar senyum teduh, rupanya wajah serta senyum gadis itu sangat persis seperti Nina dan juga Kalan. Karena perlu di ketahui pula, Darwin pernah satu kampus serta satu rumah sakit dengan Kalan walau mereka berbeda fakultas dan posisi.
"Kanaya Puspita," ucap Darwin. Membuat Naya mengangkat wajahnya saat nama itu di suarakan dengan panggilan lembut. "Nama yang bagus," puji Darwin. "Naya kelas berapa sekarang?" Seperti biasa, sebelum memulai hingga memasuki inti. Darwin terbiasa mengajak pasiennya untuk berbasa-basi dulu. Hanya demi menghilangkan kecanggungan serta ketakutan di hati mereka.
"Kelas dua belas SMA, Om," jawab Naya.
"Sudah tingkat akhir ya rupanya." Lagi dan lagi Darwin mengguman pelan. Namun Naya masih dapat mendengarnya. Gadis itu menganggukkan kepala sebagai respon jawaban. "Rencananya Naya mau masuk ke kampus mana dan jurusan apa?" Pertanyaan ringan masih terus berlanjut dengan Darwin lah sebagai tersangka utama yang memberi. Naya terlihat berpikir sejenak dan memberi jeda sebelum menjawab.
"Kampus yang sama dengan Teh Nina. Dan untuk jurusan... Naya pengen ambil Psikologi, Om," jawab Naya di sertai senyum kecil. Membuat Darwin semakin penasaran, atas dasar serta alasan apa Naya mengambil jurusan demikian. Karena pada dasarnya banyak remaja di luaran sana yang lebih memilih jurusan ekstrem. Seperti Akutansi, dan Hukum sebab peluang kerjanya sangat besar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lencana SK
FanfictionTrigger warning [Mental illness] : Post Traumatic Stress Disorder, Self Harm, Anxiety Disorder, Overthinking, and Feeling useless. Haechan's Alternate Universe Tentang Karenina, si gadis asal kota Bandung yang sering menampakkan wajah datar. Memilik...