Nina mengepalkan jari-jari tangannya dengan kuat. Berusaha menahan semua gejolak rasa emosi yang ingin meluap dan membuncah di dadanya. Gadis itu berbalik badan, dan berjalan dua langkah mendekat. Langkahnya berhenti tepat dihadapan wajah Haidar lalu menatap laki-laki itu dengan nyalang.
Nina bahkan sempat memejamkan mata erat saat mengingat ini adalah hari buruknya. Kejadian tadi pagi yang masih membekas di ingatan kepala. Dirinya yang bertengkar hebat dengan sang ibu. "Di sini bukan Mama aja yang menjadi korban tetapi Kala dan Naya juga!" ujarnya dengan napas menggebu.
Kamila sedikit terhenyak saat mendengar putri sulungnya berteriak. Bahkan manik mata Kamila sempat menatap sekilas keberadaan Naya—putri bungsunya yang bersembunyi di balik pintu kamar dengan bercucuran air mata. Nina menatap nanar pisau yang sedang di pegang oleh ibunya.
"Karena pada dasarnya Kalan nggak akan pernah kembali kepada kita, Ma. Dia sudah bahagia dengan istri barunya. Untuk apa Mama repot-repot ingin melukai diri sendiri kalo ujungnya nyusahin kami berdua?" tanya Nina dengan air mata yang mulai berjatuhan.
"Asal Mama tau ya, Mama itu egois! Selalu memikirkan kalo hanya Mama sendiri yang merasakan sakit. Padahal kenyataannya ada Kala dan juga Naya yang merasakan hal yang sama. Bersikap seolah nggak pernah perduli dengan kami berdua, bahkan yang parahnya nggak pernah sekali pun Mama nyempatin waktu untuk sekedar makan bareng Kala dan Naya." Nina menyeka sudut matanya.
"Kala udah capek, Ma. Sekarang terserah Mama mau melakukan hal apa. Kala nggak akan pernah ganggu Mama lagi." Setelah mengatakan itu, Nina pergi dengan bercucuran air mata. Bahkan ia menarik tangan Maraka yang masih mematung di ambang pintu. "Kita langsung berangkat aja."
"Kamu kenapa lagi sih, Nin?" tanya Haidar frustasi.
"Apa peduli kamu?" Nina yang malah melempar balik pertanyaan kepada Haidar. Gadis itu bahkan masih memandang Haidar dengan sorot mata tajam.
"Kamu tanya apa peduli aku? Tentu aku peduli banget sama kamu, Nina," ujar Haidar dengan nada suara yang sengaja dipelankan.
"Kamu bahkan orang asing, Dar. Yang sayangnya terus menganggu kehidupan aku, mengacau, bahkan yang lebih parahnya kembali membuka hati aku di saat semua orang aku larang untuk masuk ke dalam." Nina yang sepertinya sedang dalam keadaan mood yang buruk. Gadis itu sedang menangis saat ini.
Haidar masih terpaku saat ini. Tangannya yang bebas tugas terasa berat hanya untuk membawa Nina masuk ke dalam rengkuhan hangatnya. Mengganggu ya? Gumam Haidar pelan.
"Maaf..." Bahkan hanya kata-kata itu yang dapat terlontar dari bibir tipis milik Haidar. "Aku nggak akan pernah ganggu kamu lagi, Nin. Dan satu hal yang aku pinta, jangan pernah merasa sendiri. Karena ada aku dan yang lainnya yang selalu berada di belakang kamu."
Sore itu untuk yang kedua kalinya Nina kembali menangis dengan suara tertahan. Mengabaikan rintik hujan yang mulai berjatuhan. Tuhan seakan mengerti dan meromantisasi keadaan. Aroma petrichor yang terus merangsak masuk ke dalam indera penciuman dan juga suara Maraka yang terus memanggilnya di ujung sana.
🍂
Tbc
Bagaimana lihat prolognya?
Ada yang ingin ditanyakan?
Siapa gerangan si Haidar dan Nina?Sampai jumpa di visualisasi pemain👋🏻🌻
KAMU SEDANG MEMBACA
Lencana SK
FanfictionTrigger warning [Mental illness] : Post Traumatic Stress Disorder, Self Harm, Anxiety Disorder, Overthinking, and Feeling useless. Haechan's Alternate Universe Tentang Karenina, si gadis asal kota Bandung yang sering menampakkan wajah datar. Memilik...