Terkadang kamu terlalu sibuk memikirkan semua permasalahanmu tanpa mau melihat keadaan sekitar. Bahwa sebenarnya aku—anakmu juga merasa kesulitan dengan segala hiruk pikuk permasalahan di dunia. Hanya satu permintaan, bisa tolong hargai aku meski aku tak pernah meminta untuk di lahirkan?
-Taro Satya Aditama
🍂
Sore ini langit Bandung terlihat sangat cerah seraya memancarkan sinar oranye miliknya. Melihat beberapa alat transportasi yang berlalu lalang di jalan besar. Taro berusaha menarik napas panjang sembari menyamankan bokongnya di atas bangku halte karena merasa sedikit lelah. Perlu di ketahui bahwa saat ini ia baru saja pulang dari tempat les piano setelah menyelesaikan sekolah tepat pada pukul dua siang tadi.
Bersama keadaan tubuh yang sedikit melemas, ia kembali melanjutkan perjalanan untuk sampai di rumah. Tidak seberapa jauh karena tepat di sebelah kanan halte ada sebuah gedung apartemen tinggi, tempat ia dan keluarganya tinggal. Melepas sepatu di depan pintu setelah mengucap salam, Taro merasa bahwa kesunyian kembali menerpa dan membuat giginya sedikit bergemelatuk. Suasana rumah yang sangat ia benci karena berbeda dengan orang-orang pada umumnya.
Berjalan dengan langkah lunglai, senyum Taro terbit saat netra menatap sang ibu yang tengah asik memasak di dapur. Belum sempat ia menghampiri Kaila di sana, seorang pria berperawakan tinggi berjalan tepat di hadapan wajahnya. Mendudukan diri tepat di sofa depan televisi, hal itu mampu menghilangkan senyum manis Taro. Menyadari perubahan mimik wajah sang anak, dengan segera Kaila berjalan menghampiri dan menarik atensi.
"Adek udah pulang?" sapanya lembut, membuat Taro menoleh kepala cepat dan kembali memasang senyum seraya menarik punggung tangan. "Sudah, Ma."
"Kalo begitu langsung ke kamar, mandi, terus ganti baju gih. Mama siapin makan malem kita dulu, nanti balik lagi ke meja makan setelah selesai shalat magrib ya, Sayang," titah Kaila halus. Mendengar hal itu, bahkan tanpa mau basa-basi, Taro langsung bergegas pergi tanpa mau memandang lama wajah sang ayah yang terlihat sangat serius di depan televisi.
Bahkan tepat setelah Taro memasuki kamar, Kaila berjalan mendekat ke arah Kalan yang terdiam di atas sofa. Memandang wajah suaminya yang datar seperti papan triplek, sangat berbeda dengan beberapa tahun silam. Yang ia lihat hanyalah sebuah raut penyesalan, kekesalan juga dingin yang menyeruak serta menyatu bersama udara. Menghasilkan euphoria tidak nyaman bagi siapapun yang berada di sekitarnya.
"Sedikit aja, kamu bisa nggak Mas, bersikap sedikit ramah atau lembut sama Taro? Dia juga anak kamu." Kalimat itu Kaila lontarkan bersama suara tegas dan juga lurus. Membuat Kalan menolehkan kepala tanpa mau menjawab. Pria paruh baya itu hanya dapat menarik napas berat seraya bangkit dari duduk santainya. Meninggalkan Kaila yang berbicara seorang diri seperti radio rusak.
"Mas, aku lagi ngomong sama kamu loh! Kamu mau kemana?!"
"Aku mau ke lantai bawah, kita omongin aja nanti pas makan malem," jawab Kalan sebelum akhirnya tubuh tegap itu menghilang di balik pintu rumah. Kalan yang kembali meninggalkan istrinya seorang diri tanpa mau mendengarkan Kaila bertanya serta berbicara mengenai perubahan sikapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lencana SK
FanfictionTrigger warning [Mental illness] : Post Traumatic Stress Disorder, Self Harm, Anxiety Disorder, Overthinking, and Feeling useless. Haechan's Alternate Universe Tentang Karenina, si gadis asal kota Bandung yang sering menampakkan wajah datar. Memilik...