LSK 4.6 Sebuah kotak dan kenangan

128 23 22
                                    

Kamu berhak bahagia, kamu juga berhak egois supaya bisa menghargai seluruh perasaan dan diri sendiri tanpa mementingkan serta mendahulukan kepentingan orang lain

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kamu berhak bahagia, kamu juga berhak egois supaya bisa menghargai seluruh perasaan dan diri sendiri tanpa mementingkan serta mendahulukan kepentingan orang lain. Hanya demi memberi kesenangan kepada batin agar tidak terus-terusan merasa tertekan.

-Haidar Dewangga

🍂

"Nin, nginjek gas mobilnya jangan kuat-kuat!"

"Ini nggak kuat kok!"

"Nin, kamu teh mau mobil kita terbang?"

"Dar, please. Jangan lebay deh."

"Nina, liat ke depan ada polisi tidur."

"Di mana?"

"Nina, kalo mobil mau belok teh kasih lampu sen dulu atuh...."

"Maaf lupa...."

Haidar menarik napas lega sembari menyeka bulir keringat yang membasahi seluruh tubuhnya dengan kasar begitu mobil yang saat ini sedang dikemudikan oleh Nina berhenti di sisi jalan. Perlu diketahui saat ini ia sedang mengajari gadis itu untuk mengendarakan mobil sesuai aturan yang berlaku di sebuah komplek perumahan.

Haidar yang berkali-kali menegur, bahkan menceramahi Nina tentang bagaimana cara gadis itu mengendarai mobil tanpa mau menaati aturan. Merasa bahwa mereka sedang mengikuti balapan di sirkuit menggunakan kecepatan tinggi. Haidar hampir saja mati karena menemui ajal di saat ia masih ingin hidup serta menikah muda.

Tidak berbeda jauh dengan Haidar, Nina terlihat sama lelahnya. Menghembuskan napas panjang serta lega secara berkali-kali. Bahkan gadis itu meletakkan kepalanya secara asal di atas stir kemudi. Menghasilkan bunyi klakson nyaring yang membuat para manusia yang berlalu lalang terkejut.

Pemuda itu terkekeh samar dan sempat tergelak melihat ekspresi wajah terkejut milik Nina. Namun dengan cekatan lengan Haidar menumpu kepala Nina dan membawanya supaya bisa bersandar di jok kursi kemudi.

"Anjir, capek juga ya?" gumam Nina tanpa sadar meloloskan kalimat kasar.

Haidar menolehkan kepala dengan alis yang mengerut heran. "Emangnya kamu nggak pernah di ajarin Maraka bawa mobil?" tanyanya.

"Pernah, bahkan sering. Tapi ya gitu..." jawab Nina tanpa mau melanjutkan kata-katanya yang sengaja di tunda.

"Gitu gimana?"

"Dia marah-marah terus, aku jadi males. Mending nggak usah belajar aja sekalian." Jawaban yag dilontarkan oleh Nina mengundang dengusan napas kasar dari sang penanya. Haidar menggelengkan kepala pelan dengan ujung bibir yang terangkat sempurna. "Tapi aku teh nggak sama bedanya euy sama Maraka. Dari tadi kan marah terus."

"Tapi marahnya kamu sama Maraka itu beda...."

Merasakan bahwa perbincangan pasal Maraka itu telah terhenti. Haidar menatap sekitar lapangan komplek yang terlihat ramai penjual di depan sana. Satu ide terlintas di benaknya. "Nin, kamu belum sarapan kan?" Entah itu sebuah pertanyaan atau tebakan, tetapi Nina anggukkan. "Belum, kenapa?"

Lencana SKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang