Tidak, bukan pertumpahan darah
dalam kisah sendu kami.
Sesekali hanya genangan air
mata, dan erangan tanpa luka.
Entah untuk apa mereka
membawamu pergi.
Bersama guguran daun jati
di akhir bulan ini.-Kanaya Puspita
🍂
Pemuda itu menggidikkan bahu ngeri, menatap sekali lagi seorang pemuda laki-laki yang jarak umurnya hanya terpaut beberapa tahun darinya. "Kenapa senyum terus sih, Bang?" tanya Jillian frustasi. Merasa jengah dengan sikap dan kelakuan kakak tingkat sekaligus teman sepertongkrongannya ini.
Sedang yang ditanya mengerutkan kening bingung, masih dengan senyum bahagia yang tersemat di wajahnya. "Naon ih?" tanya Haidar sembari menolehkan kepalanya. Jillian meletakkan gawainya yang sedang di pegang. "Jillian jadi takut buat deket-deket sama, Abang."
Mendengar hal itu Juna, Nara, beserta Leo hanya menggelengkan kepala pelan. Ingin sekali rasanya mereka menepuk kepala dengan kencang. Iya, kepala Jillian. "Dia lagi bahagia atuh, Jil. Jangan di ganggu," titah Nara dengan fokus mata yang menghadap gawai.
"Gara-gara nganterin Teh Nina kemaren?" tanya Leo. Pemuda yang malas bergerak itu kini membuka mulut dan ikut bertanya. "Padahal kejadiannya udah seminggu yang lewat," gumam Leo lagi.
"Kalo orang jatuh cinta mah beda." Kini Juna ikut menimpal membuat Haidar memutar bola mata malas. Laki-laki itu mendengus napas pelan sembari melempar kacang goreng yang berada di dalam toples kecil di rumah Leo. "Ngaca atuh, Jun!"
Ke-empat manusia berbatang itu kini sedang mengadakan acara rutin. Seminggu sekali menginap di salah satu rumah mereka, entah untuk bermain game online bahkan bercerita hingga larut malam layaknya perawan jawa yang kehausan akan aib tetangga.
"Laper, Jun," ucap Nara sembari mengelus perutnya yang buncit.
"Makan atuh, Na. Masa harus aku suapin juga." Ucapan Juna yang baru saja dilontarkan membuat Nara bergidik geli. Memukul lengan pemuda tampan elektro itu dengan kencang. "Geli anjir!" umpat Nara kencang.
"Beli makanan aja, Bang. Kebetulan hari ini Mami lagi nggak masak," ujar Leo. Pemuda tampan nan kaya itu mengeluarkan uang selembar bewarna biru dari dalam dompetnya. "Nih," katanya sembari menyodorkan uang tersebut kepada Haidar.
"Kok urang?" tanya Haidar bingung, mengundang decakan malas dari Jillian. "Ya udah kalo maneh nggak mau makanan gratis, Bang. Buat Jillian aja."
"Yeu, dasar bayi!" ujar Haidar dengan raut wajah menahan kesal. Tak lama netranya menatap Juna yang kembali bermain gawai.
"Ayo, Jun. Anterin urang," ajak Haidar.
—
"Dingin euy." Haidar mengeratkan jaket yang melapisi tubuhnya dengan sempurna. Sedang Juna menoleh sekilas, tangan yang bebas tugas mengecilkan volume air conditioner mobil milik Leo. Haidar yang katanya terlalu malas membawa motor, takut masuk angin. Membuat Juna terpaksa harus menyetir mobil milik Leo yang harganya bisa membuat empedu mereka melilit kencang saat mendengar nominalnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lencana SK
FanfictionTrigger warning [Mental illness] : Post Traumatic Stress Disorder, Self Harm, Anxiety Disorder, Overthinking, and Feeling useless. Haechan's Alternate Universe Tentang Karenina, si gadis asal kota Bandung yang sering menampakkan wajah datar. Memilik...