LSK 6.6 Pertemuan dalam takdir

57 11 32
                                    

Seperti lukisan yang sangat indah, namun tak terjelaskan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seperti lukisan yang sangat indah, namun tak terjelaskan. Seperti rasa perih dan kehilangan yang tersamarkan oleh cinta yang sebentar. Ketika gemuruh ombak batin tak menentu, kita merasa kehilangan harapan dan daya. Berpikirlah bahwa "Apakah keterpurukan adalah akhir perjalanan hidup?"

-Samudera Zio Wicaksono

🍂

"Ya ampun, ini bahkan hari libur dan kita baru aja selesain segala ujian tepat hari kemarin. Kamu kenapa datengin aku padahal jadwal belajar kita sama sekali kosong."

Naya saat ini tengah berbicara panjang lebar, melayangkan aksi protes kepada pemuda tampan yang memiliki tinggi badan di atas rata-rata. Siapa lagi jika bukan Samudera Zio Wicaksono. Yang selalu setia mengajak Naya untuk belajar bersama bahkan di tanggal merah sekalipun. Mendengar hal itu, bukannya merasa marah atau tersinggung Samudera justru terkekeh pelan di balik kaca mobil.

Ya, saat ini pemuda tersebut masih setia duduk di bangku kemudi. Tidak ada niat untuk turun, ia berbicara santai kepada Naya seraya mengajak gadis tersebut untuk masuk ke dalam mobil tanpa mau menjelaskan kemana mereka akan pergi. Bahkan tadi, Samudera sempat menyuruh Naya untuk mengganti baju yang layak pakai supaya terlihat lebih rapi dan enak di pandang oleh mata.

"Justru itu, Nay. Mumpung sekarang hari libur, aku mau ajak kamu ke toko buku—"

"Astagfirullah, Samudera. Bahkan di saat ujian udah selesai... kamu masih tega suruh aku baca buku? Otak aku juga butuh istirahat!" Memangkas omongan, kali Naya benar-benar tak habis pikir dengan kelakuan teman seperjuangannya yang satu ini. Bagaimana bisa Samudera tega menyuruhnya untuk datang ke toko buku padahal pikiran Naya juga perlu istirahat dari lelahnya akar masalah.

"Dengerin dulu kalo orang ngomong, jangan asal di pangkas aja!" Samudera mencubit lengan Naya dengan pelan. Merasa gemas dengan kebiasaan buruk Naya yang sulit di ubah—memotong pembicaraan orang lain. "Aku mah ajak kamu ke toko buku karena mau minta temenin cari-cari komik baru. Kebetulan komik Conan udah keluar minggu lalu. Sekalian refreshing juga, makan angin."

Maka di detik selanjutnya, Naya membuang muka. Merasa sedikit bersalah dan juga malu karena telah melempar prasangka buruk. "Makan angin yang ada nanti masuk angina," gumamnya pelan. Tentu saja Samudera masih dapat mendengar karena mereka berada di lingkungan yang sama dengan si gadis.

Memarkirkan sang kuda besi, Naya seakan baru tersadar akan satu hal. Bagaimana caranya Samudera bisa membawa alat transportasi seperti ini? Sebab jika perlu di ketahui umur mereka baru mencapai delapan belas tahun dan Samudera sudah mendapat kartu ijin mengemudi. "Sam, sejak kapan kamu bisa bawa mobil?" tanya Naya seraya mencegah temannya itu untuk jalan seusai memastikan diri untuk mengunci mobil.

"Umm, sejak kamu bilang suka masuk angin karena naik motor pas musim hujan."

"Itu kan hampir setahun lalu, Samudera. Kamu masih inget?"

Lencana SKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang