Satu sekolah digemparkan dengan kedatangan polisi yang menangkap Pak Andra, wali kelas XI MIPA 1. Kabar tentang apa yang sudah dilakukan Pak Andra pada Naya sudah tersebar luas. Mereka benar-benar tidak menyangka, ternyata kasus Naya bukan percobaan bunuh diri. Kini Pak Andra akan ditindak lanjuti oleh pihak berwajib.
"Kerja bagus Elvano, Fiza," ucap Fajar.
"Fiza, terima kasih atas keberanian kamu."
"Iya Pak, maaf saya sempat berbohong," jawab Fiza.
"Tidak apa-apa, saya mengerti keadaan kamu yang selalu diancam."
"Kalau gitu saya pergi dulu ya," pamit Fajar berlalu pergi memasuki mobil polisi.
"Selesai sudah," ucap Elvano merangkul bahu Fiza sembari tersenyum lebar.
"Gue ngerasa lega banget."
"Kerja bagus sahabat jelek gue!" Elvano mengacak-acak rambut Fiza gemas.
"Jangan lupa, gue juga berperan disini," sahut Aldo yang baru datang.
"Iya-iya!" Fiza merangkul tangan Aldo kemudian berucap, "Makasih."
Aldo hanya tersenyum menanggapi, sedangkan Elvano menghela nafasnya lega. Ternyata semua telah selesai. Semua puzzle yang hilang sudah ditemukan dan disimpan di tempat yang seharusnya.
"Pulang sekolah mau ke rumah sakit?" tawa Fiza. Kedua laki-laki itu mengangguk semangat. Mereka bertiga memilih menuju kelas diiringi canda tawa di sepanjang koridor.
Semua sudah selesai, tinggal lo bangun Nay. Kita semua masih setia menunggu..
***
Pintu ruangan terbuka, menampilkan Andin dan Deno memasuki ruangan anak sulungnya. Tadi mereka habis menemui dokter bertanya tentang keadaan Naya. Setelah mendengarkan penjelasan dokter, mereka dapat bernafas lega mendengar bahwa kondisi Naya semakin hari semakin baik dan masih memiliki harapan.
Deno menggenggam tangan Naya erat. "Terima kasih telah bertahan sayang. Kita gak tau kamu ngelewatin hal-hal sulit itu sendirian."
Begitupun dengan Andin yang mengecup kening Naya lembut. "Maafin kita ya Naya, kita janji bakal menebus semua kesalahan yang sudah kita lakuin ke kamu selama ini. Bangun yuk, nanti kita jalan-jalan berempat." Dengan tangan satunya lagi, Deno menggenggam tangan Andin erat.
"Iya Naya, nanti kita pergi ke pantai sesuai keinginan kamu."
Soal kebenaran yang terungkap, mereka sudah mengetahuinya. Mendengar kabar itu membuat hati mereka sesak dan marah. Sungguh menyesal karena telah menganggap bahwa anaknya melakukan bunuh diri dan memilih menutup kasus, ketimbang menyelidiki lebih lanjut dan membiarkan pelaku itu berkeliaran. Karena pada saat itu, mereka merasa sangat bersalah, lebih memilih tidak membesar-besarkannya. Itu membuat hati mereka sangat teriris.
Andin dan Deno juga sudah berbicara dengan pihak polisi dan bahkan Deno memberi pukulan pada pelaku, ia terlalu marah dengan apa yang sudah dia lakukan pada putrinya. Mereka berharap agar pelaku dihukum dengan hukuman yang seharusnya.
"Kapan dia bangun Pah?" tanya Andin. Deno menjawab, "Sebentar lagi."
"Semoga itu benar."
Seperti biasa, Andin akan mengelap tubuh putrinya itu menggunakan handuk dan Deno sudah berada di ujung ruangan dengan laptop dipangkuannya. Semenjak Naya koma, Deno terkadang membawa pekerjaannya di rumah sakit. Ia hanya ingin Naya berada dipantauannya, dan menemani putri kecilnya itu agar tidak sendirian.
Dering ponsel mengalihkan pandangan Deno, ia langsung mengangkatnya. Raut wajah pria itu berubah menjadi serius.
Andin yang menyadari itu bertanya, "Kenapa Pah?"
"Ada masalah di perusahaan."
"Yaudah kamu urus aja, aku disini yang jagain Naya."
"Tapi kan kamu juga harus jemput Dava. Kamu jemput aja, aku disini dulu."
"Kamu juga ada masalah, itu penting loh Pah."
"Terus gimana?"
Pintu terbuka, Elvano, Fiza, dan Aldo memasuki ruangan. "Tante, Om," sapa Elvano menyalami tangan keduanya diikuti oleh Fiza dan Aldo.
"Kalian kenapa gak ganti baju dulu?" tanya Andin melihat ketiga anak di depannya masih mengenakan seragam sekolah.
"Gak ke rumah Tan, langsung kesini biar cepet hehe," jawab Fiza.
"Untunglah kalian dateng, soalnya Tante harus jemput Dava. Papahnya Naya juga harus ngurus perusahaan. Kalian temenin Naya yah."
Elvano, Fiza, dan Aldo menganggukkan kepalanya. "Iya Tante."
"Kita pergi dulu ya." Andin dan Deno keluar dari ruangan. Sedangkan Fiza langsung saja menduduki kursi di sebelah kasur Naya. Ia menggenggam tangan sahabatnya itu erat.
"Naya, lo tau gak? Pak Andra udah ditangkep. Puas banget gue asli. Lo harus bangun, biar liat ekspresi dia tadi kayak gimana haha."
"Sekarang polisi udah dapet bukti, jadi gak mungkin Pak Andra bakal bebas gitu aja. Kasus dibuka lagi, dan lagi penyelidikan," lanjutnya. Fiza mengelus wajah pucat itu lembut. Ia sangat merindukan sosok Naya, hari-harinya terasa sepi tanpa kehadiran perempuan itu.
"Betah benget lo tidur, pasti mimpiin cogan ya? Udah waktunya lo bangun. Lo udah tidur terlalu lama."
Fiza menunjuk kedua laki-laki yang sedang bermain ponsel. "Tuh liat Nay, Aldo sama Elvanl udah baikan loh. Mereka malah jadi temanan gitu, siapa tau ya kan? Padahal kalau ketemu tatap-tatapan tajem."
"Berisik lo," sahut Aldo.
"Dih gue gak ke lo ya, gue lagi cerita ke Naya. Geer banget loh."
Aldo menatap Fiza malas. "Tapi bawa-bawa nama gue."
"Emang gak boleh?!" sewot Fiza berkacak pinggang.
"Nggak, itu namanya pencemaran nama baik."
"Lah emang gue jelek-jelekin lo? Emang udah jelek sih lo."
Aldo hendak bangkit menghampiri Fiza, tapi perempuan itu sedah berlari ke belakang tubuh Elvano bermaksud berlindung. Elvano menyimpan ponselnya dan menatap keduanya malas.
"Jatuh cinta mampus lu pada."
Aldo dan Fiza membulatkan mata tidak percaya akan ucapan Elvano. "GAK AKAN!!" Satu jitakan mendarat di kepala masing-masing.
"Ini rumah sakit bego! Naya nanti keganggu."
"Dia tuh yang mulai," tuduh Fiza menunjuk wajah Aldo. Begitupun dengan sebaliknya. "Heh lo yang mulai."
"Lo!"
"Lo!"
"Lo!!"
"Awas aja kalau kalian jadian, gue mau minta traktir sampe kalian miskin."
KAMU SEDANG MEMBACA
NayaVa (END)
Подростковая литератураIni tentang sebuah kisah dimana semua orang berjalan melewati jalan berduri untuk sampai keujung jalan yang penuh kejutan. Semuanya pasti terluka, secara fisik maupun batin. Tapi kelak akan tersenyum ketika sampai pada tujuan. Sudah siap berkelana d...