Terharu

422 33 1
                                    

Sudah seminggu setelah Naya sadar dari tidur panjangnya. Kini perempuan itu sedang dalam tahap pemulihan. Kondisinya juga semakin hari, semakin baik. Tangan dan kakinya sedikit-sedikit sudah bisa beraktifitas walaupun ia selalu merasa kelelahan jika berjalan. Maka dari itu, Naya jika ingin kemana-mana masih harus menggunakan kursi roda.

Soal Pak Andra, pria itu sudah dijatuhi hukuman yang setimpal atas apa yang diperbuatnya. Itu membuat orang tua, dan sahabat Naya merasa lega. Pihak sekolah juga sudah meminta maaf pada Naya.

Naya saat ini sedang berada di taman rumah sakit seorang diri, tadi ia dibantu oleh suster rumah sakit yang berbaik hati mengantarkannya kesini. Ia hanya merasa pengap jika selalu berada di ruangannya. Bau obat-obatan membuat dirinya tidak nyaman.

Semilir angin menerpa kulitnya, terasa sangat sejuk. Tanaman hijau di depannya sungguh memanjakan mata. Sebenarnya ia ingin ke rooftop rumah sakit, tapi semenjak kejadian itu sedikit takut akan ketinggian.

Jadilah ia memilih taman rumah sakit saja. Terlihat ada dua orang anak kecil tak jauh darinya. Keduanya duduk di atas kursi roda. Namun satunya menangis dan satunya lagi kepalanya tertutup oleh penutup kepala yang sedang menenangkan temannya.  Naya memilih mendekati kedua anak perempuan itu.

"Hei kenapa nangis?" tanya Naya.

"Wina..., hiks,... katanya dia mau ninggalin Nala," balas seorang anak perempuan itu.

Anak perempuan bernama Wina itu mengelap air mata di pipi Nala. "Nala udah dong jangan nangis lagi."

"Wina jahat!!"

"Maafin Wina."

Naya yang melihat itu ikut sedih, begitu erat persahabatan mereka berdua. "Emang Wina mau kemana?" tanya Naya.

"Ke atas, Wina mau jadi bintang yang paling bersinar. Supaya mamah Wina, sama Nala bisa liat Wina dari sini," jawab Wina polos. Air mata Naya keluar begitu saja mendengar itu. Ia mengerti maksud perkataan gadis kecil itu.

Nala menggelengkan kepalanya. "Gak mau, Wina disini aja! Temenin Nala sampe kaki Nala sembuh, Wina kan udah janji kita bakal main."

"Wina bakal bahagia di atas sana, karena Wina mau ketemu sama papah. Nala mau kan ngeliat Wina bahagia?" tanya Wina yang dibalas anggukan kepala oleh Nala.

Wina menoleh ke arah Naya. "Kakak kenapa ikut nangis?"

"Kakak terharu aja sama persahabatan kalian," jawab Naya.

"Nala ayo ke ruangan kamu," ujar seseorang mendekati ketiganya.

Orang itu terkejut ketika melihat Naya. "Naya? Lo udah bangun?"

Sedangkan Naya yang tidak mengenal orang di depannya kebingungan. "Siapa ya?"

Orang itu mendekap tubuh Naya erat. "Makasih Naya, makasih banyak. Gue gak tau kalau gak ada lo nasib gue bakal gimana. Gue juga mau minta maaf, gara-gara gue lo jadi koma."

"Maksudnya?" Perempuan itu melepaskan dekapannya.

"Lo udah nolongin gue dari Pak Andra. Dia ngelecehin gue di ruang guru. Sebenernya gue udah bilang ke kepsek, tapi dia gak percaya sama gue karena gak ada bukti sama sekali. Gue mau nyari kebenarannya, tapi keluarga gue kecelakaan mobil. Orang tua gue meninggal, dan adek gue lumpuh. Jadi gue harus tinggal sama bibi gue dan pindah sekolah."

"Gue ngerasa bersalah banget, gue gak bisa bantu apa-apa. Padahal lo udah bantuin gue. Maafin gue Naya. Gue selalu nunggu lo bangun."

Kedua sudut bibir Naya tertarik. "Gue gak bisa diem aja. Kalau gue diem, nanti bakal banyak korban. Gue gak mau. Turut berduka cita atas kepergian orang tua lo. Pasti lo sedih banget selama ini."

"Gue gak papa, gue masih punya bibi sama adek gue yang bikin gue kuat."

"Kalau gitu gue pergi dulu ya Nay, adek gue harus istirahat." Saat hendak pergi, suara Naya menghentikannya.

"Nama lo siapa?"

"Adila."

"Salam kenal Adila! Semoga kita bisa berteman baik dan bertemu lagi." Adila menganggukan kepalanya sembari tersenyum lebar kemudian mendorong kursi roda Nala.

Terlihat Wina menatapi kepergian Nala. "Kamu kesininya sendiri?" tanya Naya.

"Sama Mamah, tapi lagi beli sesuatu, bentar lagi pasti dateng. Nah itu Mamah!" Seorang wanita paruh baya mendatangi Wina tergesa-gesa.

"Maafin lama, tadi ngantri soalnya."

"Gak papa ko Mah."

"Terima kasih telah menemani anak saya," ucap wanita paruh baya itu pada Naya.

"Dadah Kakak!" ujar Wina melambai-lambaikan tangannya sebelum pergi menuju kamar ia dirawat. Naya membalas lambaian tangan itu.

Kini Naya kembali seorang diri, ia merasa kasihan pada nasib kedua anak tadi dan juga Adila. Di umur yang terbilang muda harus memikul beban yang berat. Penderitaannya mungkin tidak sebanding dengan penderitaan mereka.

Naya merasa harus mensyukuri kehidupannya. Ia masih memiliki keluarga yang lengkap dan juga sahabat yang setia berada di sampingnya. Walaupun awal-awal ia merasa tertekan, tetapi karena kejadian ini keluarganya kembali menghangat.

Kedua sudut bibirnya lagi-lagi tertarik, ia menutup matanya merasakan angin yang membelai kulit wajahnya lembut. 

Mulai saat ini , waktunya memulai kehidupan yang lebih baik dan belajar dari masa lalu.

NayaVa (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang