Kejadian yang sebenarnya (4)

459 34 2
                                    

Fiza memilih kembali ke kelasnya setelah beristirahat di UKS. Ia berjalan di koridor yang sepi, kepalanya masih sangat pusing. Tiba-tiba ada tangan menariknya ke dalam ruangan olahraga yang sempit dan terdapat banyak barang.

Tubuh Fiza terhimpit oleh orang di depannya yang tidak terlihat sangking tidak adanya cahaya di ruangan tersebut. Jantungnya berdegup lebih cepat, ia sangat ketakutan.

Fiza berteriak walaupun mulutnya dibekap. Ia berusaha melepaskan diri dengan mendorong dan memukul orang itu dengan sekuat tenaga. Namun, ia semakin terhimpit sampai-sampai deru nafas terasa di telinganya.

"Sttt..."

"Jangan berisik manis, nanti kita ketahuan," bisik orang itu.

"Breb..., sek!! Lebas!!" racau Fiza tidak karuan.

"Diem. Atau akan ada kabar seorang siswi meninggal di ruang olahraga." Hal itu membuat Fiza menghentikan aksinya. 

"Gadis pintar." Pak Andra melepaskan bekapan. Air mata mengalir begitu saja di ujung matanya.  "Jangan nangis..." Fiza membuang muka ketika merasakan elusan di pipinya.

"Jangan pegang gue, gue jijik sama tangan kotor lo." Sebuah tamparan melayang di pipi kanan Fiza.

"Mulai berani ya?" Pak Andra mulai mendekatkan wajahnya dan membisikkan sesuatu.

'Apakah kamu membocorkan kejadian Naya pada Elvano?' Fiza menggelengkan kepalanya cepat.

"Benarkah? Tapi kenapa saya tidak bisa mempercayai kamu? Atau harus saya sakiti Elvano agar kamu bisa jujur?"

"Saya tidak membocorkan ini pada siapapun!"

"Stt..., nanti kita ketahuan cantik. Bicaranya pelan-pelan aja."

"Lepasin saya!"

"Iya nanti dilepasin, main-main dulu sama saya bentar." Hembusan nafas Pak Andra mulai terasa di lehernya. Sungguh ia sangat takut.

Seseorang tolong gue...

Pak Andra segera menjauhkan tubuhnya ketika mendengar suara orang di luar. Suaranya semakin mendekat, sampai pintu di depannya bergerak-gerak.

"Lah ko kekunci?" tanya orang itu dari luar.

"Kamu keluar, dan bawa murid itu menjuh agar saya bisa pergi dari sini." Pak Andra memutar kunci dan membuka pintu. Fiza dapat bernafas lega, kakinya terasa lemas sekali. "Eh kenapa ada disini?" tanya lelaki yang tadi menyelamatkannya secara tidak langsung. Jika tidak ada lelaki itu ia tidak tahu bmharus bagaimana ke depannya.

"Tolong...," lirih Fiza. Lelaki itu segera memapah Fiza. Sedangkan Pak Andra langsung saja keluar dari sana tanpa sepengetahuan orang lain.

"Sampe sini aja, gue bisa sendiri," ucap Fiza.

"Gak akan ke UKS? Lo pucet gitu," ujar lelaki itu yang dibalas gelengan pelan dari Fiza.

"Gue gak papa, makasih." Fiza segera berjalan menuju kelasnya berada.

Fiza memasuki kelas dengan wajah sangat pucat, Elvano segera menghampiri memeriksa keadaan perempuan itu.

"Mau pulang?" Telapak tangan Elvano ditempelkan di dahi Fiza, semakin panas.

"El," lirih Fiza menatap Elvano berkaca-kaca.

"Pulang yu? Lo panas banget." Fiza menganggukan kepalanya pelan. Elvano kemudian mengambil tasnya dan tas Fiza.

"Gue izin nganterin Fiza, dia sakit," ucap Elvano pada absensi lalu merangkul bahu sahabatnya yang sudah lemas.

"Kuat jalan?" tanya Elvano khawatir. Fiza hanya mengangguk.

Di rumah Fiza, Elvano  menempatkan tubuh Fiza di kasur dengan posisi tidur dan menarik selimut.

"Gak akan ganti baju Za?" tanya Elvano.

"Nanti aja, gue lemes banget," balas Fiza lemah.

"Pipi lo ko merah Za?" tanya Elvano lagi saat menyadari pipi kanan Fiza memerah.

"Oh..., ini. Gue kan lagi demam, wajar aja sih," jawab Fiza sedikit tergugup. Sedangkan Elvano hanya ber-oh saja.

"Lo balik ke sekolah sana."

"Ngusir mulu lo ah."

"Ke sekolah Elvano!"

"Gak mau, mau disini aja. Lagi males belajar gue." Elvano terbaring di lantai sembari memainkan ponsel.

"Lo tidur aja Za, gue gak akan ganggu."

"Dingin loh disitu El," ucap Fiza.

"Lo istirahat, gak usah perduliin gue," balas Elvano tanpa mengalihkan pandangan. Fiza berdecih lalu menutup kedua mata karena rasa pusing di kepalanya semakin menjadi.

"Za gue mau nanya boleh?"

"Tadi disuruh tidur," sahut Fiza tanoa membuka mata.

"Jawab pertanyaan gue, udah itu langsung tidur."

"Mau tanya apa?" Elvano menyimpan ponselnya dan menatap Fiza dengan tatapan sulit diartikan.

"Gue sama lo sahabat kan Za?"

"Iyalah, lucu banget lo nanya gitu." Fiza membuka matanya dan balik menatap Elvano.

"

Lo gak nyembunyiin sesuatu dari gue kan Za?"  Jantung Fiza seketika berdegup lebih cepat.

"Gak ada El, kalau ada yang disembunyiin pasti gue bilang sama lo," ucap Fiza berusaha senatural mungkin.

"Bener?"

"Iya, lagian lo kenapa sih tiba-tiba nanya gitu?"

"Gue punya firasat aja, kalu lo nyembunyiin sesuatu dari gue."

"So-soan banget lo! Udah sana ke sekolah lagi. Gue mau tidur, pusing nih pala gue."

"Yaudah lo istirahat, nanti gue kesini lagi." Elvano membenarkan selimut Fiza yang sedikit menyingkap agar perempuan itu tidak kedinginan. Kemudian mengelus rambut Fiza sebelum pergi.

"Lo cepet sembuh."

"Iya."

"Gue pergi dulu." Fiza mengangguk pelan sebagai balasan. Sampai akhirnya tubuh Elvano menghilang dari balik pintu. Tangis Fiza seketika pecah, ini sungguh menyesakkan.

Rere yang baru datang, dikejutkan oleh tangisan Fiza. "Kamu kenapa Fiza?"

"Mah..." Fiza memeluk tubuh Rere erat menumpahkan tangisanya dipekukan sang ibu.

"Kamu kenapa?"

"Ini salah Fiza Mah..., hiks..., karena Fiza mereka berdua jadi terluka."

Maaf Naya, maaf Elvano, karena gue seorang pengecut.

NayaVa (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang