Rumah yang tidak pantas disebut rumah.

563 61 0
                                    

Karena hari pertama, maka kelas 11 dan 12 diperbolehkan pulang lebih awal. Hal itu merupakan kabar baik bagi mereka. Namun, berbeda dengan kelas 10 yang harus menyelesaikan kegiatan MPLSnya. Terlihat kelas 10 nampak menatap kepulangan kakak kelas mereka dengan tatapan memelas.

"Kasian banget adek-adek gumush kita," ucap Naya ketika melewati lapangan.

"Semangat adek panas-panasannya!!" teriak Fiza tidak tahu malu.

"Abang osis juga semangat! Apalagi itu yang pake jas merah sambil pegang mic, hey stupid i love you!" teriaknya lagi. Hal itu membuat orang-orang di sekitar Fiza bersorak.

"Bukan sahabat gue bukan," gumam Elvano lalu menarik tangan Naya agar meninggalkan Fiza yang masih asik menatap segerombolan rok biru di lapangan dan anak osis tentunya.

Sadar dengan kedua sahabatnya yang sudah pergi, Fiza segera berlari menyusul dengan menggerutu.

"Tega bener kalian ninggalin gue!" kesal Fiza.

"Habisnya lo malu-maluin kita," jawab Elvano. Fiza hanya mendengus.

"Lo bawa motor yang?" tanya Elvano pada Naya yang sudah menaiki motor dan memakai helm.

"Iya."

"Kenapa bawa motor sih? Kan gue gak bisa nganter lo pulang."

"Lo anter Fiza aja, gue bisa sendiri ko."

"Gak mau bawa dia tuh bawelnya minta ampun." Mendengar namanya disebut-sebut Fiza melirik Elvano sinis.

"Gue sendiri juga gak papa."

"Anterin Fiza, El. Gue duluan ya." Naya melajukan motornya keluar gerbang sekolah menuju rumahnya. Selama diperjalanan, Naya melajukan motornya pelan untuk mengulur waktu. Sampai akhirnya ia menghentikan motornya di depan sebuah rumah yang menurutnya tidak pantas untuk disebut rumah.

Dengan berat hati, Naya memasuki rumah itu. Hal pertama kali ia lihat adalah Dava, adiknya yang sudah berumur 5 tahun. "Kakak!" panggil Dava sembari berlari kecil ke arah Naya, lelaki kecil itu memeluk kaki Naya erat tak lupa dengan senyuman lebar.

"Lepas!" seru Naya datar melepaskan tangan mungil itu paksa sehingga Dava terjatuh dan menangis. Sungguh, dia tidak sampai berniat seperti itu.

"Nayara!!!" sentak seorang wanita paruh baya menghampiri. Naya memutar bola matanya malas, pasti selalu seperti ini.

"Kenapa bikin adik kamu menangis lagi hah?!"

"Dianya aja yang cengeng," jawab Naya sekenanya. Satu tamparan melayang di pipi kanan Naya, bahkan yang kemarin saja masih terasa lumayan sakit ini malah menambah lagi.

"Tampar lagi aja Mah! Tampar terus, ini pipi kiri Naya belum!" Naya mendekatkan pipi kirinya kepada Andin dan benar saja Andin dengan teganya menampar pipi kiri Naya. Perempuan itu hanya terkekeh pelan merasakan kedua pipinya terasa perih.

"Kamu tidak tau diuntung! Masih untung saya mau nampung kamu setelah mencelakakan Dava!"

"Udah Naya bilang, itu bukan kesalahan Naya! Itu kesalahan dia sendiri!" tunjuk Naya pada Dava yang sudah terdiam.

"Masih mau mengelak kamu?"

"Mau beribu-ribu kali Naya jelasin juga Mamah gak akan percaya. Karena hanya Dava anak kalian satu-satunya. Keberadaan Naya disini cuman sebagai boneka hidup yang tidak pernah dianggap manusia di rumah ini!" Setelah mengucapkan itu, Naya memasuki kamarnya dan menutup pintu kasar. Naya melempar tasnya asal, ia mengambil botol obat di laci lalu mengeluarkan beberapa butir kemudian menelannya dengan air yang selalu disiapkan di kamarnya.

Air matanya bahkan tidak keluar. Akhir-akhir ini Naya tidak akan menangisi keadaan rumah. Percuma saja, hanya membuang-buang air mata.

Permasalahan ini bermula 1 tahun lalu ketika ia disuruh orang tuanya mengajak Dava ke taman bermain di dekat komplek. Sedari Dava lahir Naya tidak pernah menyukai adiknya, karena semenjak dia lahir seluruh perhatian hanya menuju padanya. Dengan terpaksa Naya menggandeng Dava menuju taman bermain.

Saat itu Naya selalu melarang Dava agar tidak menaiki perosotan, namun anak kecil itu tidak menghiraukan larangan Naya dengan nekat Dava menaiki perosotan seorang diri ketika Naya sedang membuang sampah minumannya.

Terdengarlah tangisan Dava yang begitu kencang, Naya langsung mendekati asal suara dimana Dava sudah menangis dengan kepala mengeluarkan darah. Entah bagaimana anak itu bisa dalam keadaan naas seperti itu.

Naya segera menggendong tubuh Dava dan berlari menuju rumah dengan panik. Orang tuanya segera membawa Dava ke rumah sakit, setelah itu dokter mengatakan kepala Dava mendapat 7 jahitan. Hal yang tidak dapat terlupakan oleh Naya adalah ketika mamahnya menampar di depan banyak orang. Sejak saat itu, orang tuanya seakan-akan membencinya dan selalu menyangkut pautkan dengan kejadian 1 tahun lalu. Padahal jelas-jelas itu bukan salahnya, ia hanya membuang sampah sebentar saja tidak tau akan seperti itu.

Sungguh menyebalkan. Dan 2 bulan lalu, Naya mendatangi psikiater seorang diri karena selalu merasa kejanggalan terhadap dirinya. Benar saja, ia didiagnosis depresi. Semenjak saat itu ia selalu meminum obat Antidepresan agar kondisinya tidak semakin parah.

Naya sama sekali tidak memberitahu Elvano dan Fiza tentang kondisi mentalnya. Cukup tuhan dan dirinya yang tahu. Ia tidak ingin membuat kedua orang yang ia sayangi merasa khawatir.

NayaVa (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang