Baru saja menginjakkan kaki di rumah, sindiran seseorang membuatnya menghela nafasnya kasar. "Kenapa pulang?"
"Jadi Mamah gak mau Naya pulang?"
"Biasanya kan kamu kelayapan terus kayak yang gak ada rumah."
"Emang gak ada. Rumah yang dikatakan orang-orang sebagai tempat ternyaman itu semua gak berlaku untuk Naya. Malahan rumah bagi Naya adalah hal yang harus dihindari," balas Naya.
"Mamah tuh malu! Kamu selalu menginap di rumah orang, makan di rumah orang! Ngerepotin aja bisanya!" ujar Andin.
"Loh malahan ortu sahabat Naya yang minta menginap di rumahnya. Disana Naya juga bahagia Mah, tawa Naya tulus. Orang tua mereka juga nganggep Naya anak sendiri, mereka memperlakukan Naya dengan kasih sayang yang Naya gak pernah dapatkan lagi disini."
"Kamu berani berkata seperti itu Naya?"
"Karena jika Naya diam terus, Naya akan menjadi pihak yang selalu tersakiti disini." Naya hendak pergi tetapi ada yang memeluk kakinya erat.
"Kakak!" panggil Dava girang.
"Lepas!"
"Gak mau, Dava kangen banget sama Kakak."
"Lepas!" Naya sedikit mendorong tubuh Dava agar melepaskan tangannya.
"Kakak kenapa gitu ke Dava." Kedua mata anak lelaki itu sudah berkaca-kaca siap muncurkan air mata.
"Gue benci sama lo. Kehadiran lo yang buat gue kayak gini. Jadi jauh-jauh, jangan pernah deketin gue lagi!" ucap Naya pada Dava yang sudah menangis.
"Nangis aja yang kenceng, biar gue yang selalu disalahin."
"Naya!! Beraninya kamu berkata seperti itu pada adik kamu sendiri!" Andin menatap Naya tajam.
"Itu emang kenyataan Mah, Naya benci Dava!"
"Dia adik kamu Naya!"
"Adik? Pembawa sial maksudnya?" Satu tamparan melayang di pipi kanan Naya.
"Saya tidak pernah mengajarkan kamu berkata seperti itu! Pasti karena kamu bergaul dengan sahabat kamu itu!" tuduh Andin.
"Jangan pernah bawa sahabat Naya dalam permasalahan ini. Mereka gak ada hubungannya."
"Lihat bahkan kamu membela sahabat kamu yang tidak jelas itu."
"Tidak jelas? Justru sahabat Naya yang selalu ada buat Naya!" Nada suara Naya sedikit meninggi. Emosinya bahkan sudah tersulut.
"Naya!" sentak seserang menghampiri. Satu tamparan mendarat di pipi Naya lagi. Tapi ini jauh lebih menyakitkan.
"Saya tidak pernah mengajarkan kamu berperilaku kurang ajar pada orang tua!" ucap Deno dengan tatapan tajam.
"Kadang Naya suka bertanya-tanya."
"Apa Naya itu anak kandung kalian? Orang tua mana yang tega menampar darah dagingnya sendiri?" lanjutnya. Air mata Naya luruh begitu saja.
"Sakit Mah, Pah. Rasanya sakit ditampar kayak gini. Bukan cuman pipi, tapi hati Naya sakit. Kemana diri kalian yang selalu memperlakukan Naya lembut?" ucap Naya lirih.
"Naya butuh kalian yang bisa mendengar keluh kesah Naya, masalah Naya. Ingin sekali ditanya 'Bagaimana hari ini?'. Ingin dibuatkan makanan kesukaan Naya, tapi Mamah malah masak makanan yang Mamah tau, Naya alergi dengan itu."
"Pah, apa Papah tau apa yang paling dirindukan oleh Naya? Usapan lembut Papah di rambut Naya sebelum tidur." Andin dan Deno terdiam mendengar itu. Mereka melihat tatapan anak sulungnya yang terlihat sangat terluka.
"Naya rindu menghabiskan waktu bersama kalian. Piknik bersama, tertawa bersama. Tapi semenjak Dava hadir, semuanya lenyap. Kalian terlalu fokus pada Dava sehingga anak pertama kalian diabaikan begitu saja dan tumbuh seorang diri tanpa perhatian sedikit pun." Tangis Naya semakin menjadi, rasanya sakit ketika meluapkan segala keluh kesah yang sempat tertahan.
"Mah, Pah, Naya disini. Naya masih butuh kalian. Soal Dava itu bukan salah Naya, KENAPA KALIAN GAK PERCAYA!!"
"Naya butuh kasih sayang, bukan kekerasan. Naya rapuh Mah, Pah."
"Jika Naya dapat memilih, Naya akan memilih tidak ingin dilahirkan di dunia ini. Atau tidak, Naya memilih mati saja!" Andin berjalan mendekat, namun Naya memundurkan langkahnya.
"Kenapa harus orang lain yang mengerti Naya? Kenapa tidak orang tua Naya sendiri? Sungguh lucu." Naya terkekeh kecil di tengah tangisnya.
"Naya kadang iri sama yang lain, dimana mereka selalu mendapatkan kasih sayang. Mereka selalu ingin pulang ke rumah, mereka selalu merasakan kehangatan di rumah."
"Sedangkan Naya? Pulang ke rumah saja rasanya muak!"
"Naya...," nada suara Deno melemah. Kata-kata Naya sungguh menusuk tepat di hati Andin dan Deno.
Perempuan itu mengusap wajahnya kasar. "Maaf jika perkataan Naya tidak sopan." Naya memasuki kamar sembari menutup pintunya kasar.
Ia membuka buku diarynya yang berada di atas meja belajar. Lalu menuliskan sesuatu disana.
Jika aku mati, apakah mereka akan bahagia?

KAMU SEDANG MEMBACA
NayaVa (END)
Novela JuvenilIni tentang sebuah kisah dimana semua orang berjalan melewati jalan berduri untuk sampai keujung jalan yang penuh kejutan. Semuanya pasti terluka, secara fisik maupun batin. Tapi kelak akan tersenyum ketika sampai pada tujuan. Sudah siap berkelana d...