Ini tentang sebuah kisah dimana semua orang berjalan melewati jalan berduri untuk sampai keujung jalan yang penuh kejutan.
Semuanya pasti terluka, secara fisik maupun batin. Tapi kelak akan tersenyum ketika sampai pada tujuan.
Sudah siap berkelana d...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Pintu kamar terbuka, menampilkan seorang wanita paruh baya memasuki kamar putrinya sembari membawa sebuah kotak berisi barang-barang Naya yang sempat dijadikan bukti. Tapi Andin memilih membawanya kembali, karena itu barang putrinya. Terakhir kali ia memasuki kamar ketika polisi datang untuk meginvestigasi lebih lanjut, kamar ini sangat berantakan. Entah apa yang terjadi. Lucu sekali, ia sebagai ibu tidak mengetahui hal yang menimpa anaknya.
Kamar itu kini telah rapih, Andin berjalan menuju meja belajar dan menyimpan kotak itu disana. Ia mengambil buku diary milik Naya dan membukanya.
Hari ini, seperti biasa tidak dianggap ada. Keberadaanku seakan bayangan yang tidak dihiraukan sama sekali. Entahlah, kadang aku lelah dengan hidupku.
Andin membalikkan lembar berikutnya.
Hari ulang tahun, dimana orang-orang selalu mendambakan hari itu. Tahun ini berbeda, ulang tahunku tidak ditemani keluarga melainkan hanya dua orang sahabatku saja.
Sebenarnya, keluargaku mana? Haha.
Andin merasakan nyeri di hatinya ketika membaca kalimat terakhir. Ia terus saja membalikkan halaman.
Terkadang aku berpikir, kapan mereka percaya bahwa aku tidak menyelakakan Dava? Dasar menyebalkan. - Lucu sekali, orang lain lebih mengertiku ketimbang keluargaku sendiri.
Air mata Andin luruh begitu saja, ia membekap mulutnya agar tangisnya tidak terdengar sampai luar.
Hari ini, aku akan pergi ke psikiater seorang diri tentunya. Hanya ingin mengetahui keadaanku saja yang semakin aneh. Selalu terbayang kematian dan ingin menyakiti diri. Mungkinkah aku sudah mulai gila? Haha. - Diary, tahukah? Rahasia ini akan aku beritahukan padamu saja. Aku didiagnosis depresi. Menyebalkan. - Jika aku mati, apakah mereka akan bahagia?
Andin segera menutup buku itu kemudian langsung menyimpannya. Ia tidak sanggup untuk membacakan kelanjutannya, hatinya sudah terlalu sakit.
Setahun lalu, ia terlalu marah ketika Naya menggendong Dava yang sudah mengeluarkan darah di kepala. Karena saat itu ia tau bahwa Naya selalu membenci Dava. Bayangan-bayangan Naya menyakiti Dava yang ia buat sendiri terus saja terngiang saat melihat wajah Naya.
Bodohnya, ia malah tidak mempercayai darah dagingnya sendiri dan suaminya juga percaya bahwa Naya menyakiti Dava.
Karena imajinasinya sendiri membuat gadis itu terluka begitu dalam sampai-sampai mempunyai penyakit mental berbahaya. Ia sungguh orang tua yang buruk.
Andin semakin terisak ketika melihat bingkai foto keluarga yang Naya simpan di dekat meja belajar. Di foto itu Naya terlihat sangat bahagia, hal itu membuat hati Andin semakin nyeri.
Di lain tempat, Deno mendengar isak tangis dari arah kamar Naya. Segera ia memasuki kamar yang sudah terdapat istrinya sedang menangis.
"Kenapa nangis?" Deno mendekap tubuh Andin dan mengelus rambutnya pelan.
"Aku ibu gak berguna. Ibu macam apa yang tega menyakiti anaknya sendiri?" Andin menyembunyikan wajahnya di dada bidang Deno.
"Aku juga salah Andin, aku juga gak berguna untuk anakku sendiri."
"Naya terluka, dan itu disebabkan oleh kita. Orang tua macam apa kita ini?" Tangis Andin semakin menjadi di pelukan Deno.
"Andin, kita jadikan ini sebagai pelajaran untuk ke depannya agar ini tidak terulang. Kita harus selalu berdo'a agar Naya cepat sadar."
"Dia ngelakuin bunuh diri gara-gara kita," ujar Andin di sela tangisnya. Deno menghela nafasnya kasar.
"Tuhan masih memberikan kesempatan untuk kita menebus kesalahan Andin. Naya masih hidup," ucap Deno.
"Tapi aku gak tega liat dia terpasang banyak alat. Hati aku sakit liatnya." Deno semakin mengeratkan dekapannya.
"Aku percaya, anak kita kuat. Dia pasti bisa melewati segalanya dan kembali pada kita." Keduanya saling menyalurkan rasa sakit di hati, tanpa disadari Deno juga meneteskan air mata.
"Papah? Mamah?" sahut seseorang memasuki kamar dan ikut memeluk tubuh orang tuanya.
"Jangan nangis, Dava juga jadi sedih," ucap Dava. Andin dan Deno segera mengelap air matanya dan tersenyum.
"Udah tuh Mamah sama Papah udah gak nangis," ucap Andin. Keduanya berusaha menampilkan senyuman lebar pada anak bungsunya.
"Mamah sama Papah jangan nangis lagi. Dava sayang kalian, juga Kak Naya."