Curiga.

505 53 0
                                    

Sedari malam Elvano tak henti-hentinya memberi pesan agar Naya berangkat bersamanya. Bahkan perempuan itu sudah jera dengan kelakuan Elvano, padahal ia sudah mengiyakan tapi tetap saja bawel.

Maka pagi-pagi ia sudah berdiam di depan rumah menunggu kedatangan Elvano. Naya sama sekali tidak ikut sarapan bersama keluarganya, ia lebih memilih kelaparan ketimbang mendapat ucapan-ucapan pedas yang membuat hatinya terasa nyeri.

Suara deru motor mengalihkan pandangan Naya, datanglah Elvano dengan cengiran lebar lalu memberikan sebuah helm. "Selamat pagi duniaku!" sapa Elvano girang.

"Dunia gue harus selalu senyum dong." Elvano menarik kedua sudut bibir Naya.

"Senyum lo cantik Nay, makanya lo harus senyum terus," lanjutnya.

"Kalau gue gak senyum berarti jelek gitu?" jawab Naya.

"Ya nggak gitu juga maemunah, lo selalu cantik di mata gue."

"Gembel." Elvano terkekeh pelan lalu membantu Naya mengaitkan helm dan merapikan poni yang menutupi mata Naya. Kemudian Naya menaiki motor sembari berpegangan pada pinggang Elvano.

Elvano melajukan motornya dengan kecepatan sedang, karena Naya tidak suka jika ia membawa motor dengan kecepatan tinggi. Dirinya hanya menurut saja. Hanya beberapa menit, keduanya sudah sampai di sekolah.  Naya menggantungkan helm di motor Elvano. Lalu merapihkan rambutnya yang sedikit acak-acakkan.

Keduanya berjalan menuju kelasnya yang sudah sedikit ramai. Elvano menarik kursinya agar sejajar dengan Naya kemudian mengeluarkan tempat makan dari tasnya.

"Nih makan dulu," ujar Elvano memberikan masing-masing sendok pada Naya dan Fiza.

"Mamah Rita masakin lagi? Yaampun kangen banget gue," girang Fiza lalu memakan makanannya lahap. Sedangkan Naya hanya menatapnya saja.

"Makan Nay."

"Gak laper El."

"Gue liat-liat dari tadi muka lo murung terus, soal rumah?" tebak Elvano.

"Kapan sih rumah Naya tentram? Setiap hari ortunya bikin emosi mulu," celetuk Fiza.

"Kalau bener itu tebakan gue, jangan sampai gara-gara itu lo gak makan Nay." Elvano mengambil alih sendok di tangan Naya.

"Fiza jangan diabisin woy!" sahut Elvano ketika nasi dan lauk tinggal sedikit lagi.

"Gue laper El."

"Makanya sarapan di rumah biar kenyang."

"Kan lo tau emak gue males masak kalau pagi-pagi," jawab Fiza. Elvano memutar bola matanya malas lalu menyodorkan sendok di depan mulut Naya.

"Makan."

"Gak."

"Makan Naya." Mau tidak mau Naya membuka mulutnya, karena lelaki itu tidak bisa dibantah.

"Nah gitu, badan udah kerempeng so soan gak mau makan." Elvano terus saja menyuapi Naya tidak memperdulikan orang-orang di kelas sudah menatap iri.

"Lo berdua bener-bener, bucin kagak tau tempat," ujar Fiza.

"Sirik lo jomblo," seru Elvano membuat Fiza mendengus kesal.

"Elvano, gue minta nomor lo." Ucapan seseorang membuat Elvano menghentikan kegiatannya sejenak lalu menatap seorang perempuan di hadapannya yang sudah menyodorkan ponsel.

"Buat apa?"

"Buat di masukkin ke grup kelas," jawab Luna dengan nada malu-malu.

"Oh oke." Elvano mengetikkan nomor di ponsel Luna.

"Makasih ya El," girang Luna mengambil ponselnya lalu kembali menuju kursinya.

"Eh Lun, lo gak akan minta nomor gue sama Naya? Kan gue juga bagian dari kelas ini," sahut Fiza dari belakang. Luna menoleh lalu berucap, "Nomor kalian udah dimasukkin ko."

"Lah dapet dari mana?"

"Dari Ica, katanya sempet sekelas sama lo pas kelas 10," jawab Luna santai.

"Terus kenapa nomor Elvano kagak ada?!" kesal Fiza. Luna hanya mengedikkan bahu lalu kembali menghadap ke depan.

"Anjir gue bener-bener curiga sama tuh cewek," bisik Fiza pada Naya.

"Dia cuman minta nomor doang ko."

"Mana ada Naya, dia itu cuman alesan doang supaya bisa ngomong sama El. Liat aja mukanya yang so-soan malu, najis gue liatnya."

"Jangan gitu Za."

"Bisikin apasih kalian? Mulai main rahasia ya dari gue?" ucap Elvano membuat Naya dan Fiza menyudahi acara bisik-bisik.

"Kepo lo monyet!" Fiza meleletkan lidahnya ke arah Elvano.

"Sumpah ya Za, lo itu nyebelin banget anjir."

"Bodo amat sih, yang penting gue cantik kayak Ariana Grande."

"Yakin Ariana Grande mau disamain kayak lo yang cuman kentang?" ledek Elvano.

"Mulutnya emang butuh dicabein ya lo!"

"Udah!! El balik ke kursi, udah mau masuk!" ujar Naya menengahi pertengkaran keduanya.

"Yaudah dadah, gue balik. Jangan rindu ya." Elvano langsung membereskan tempat makannya dan menarik kursinya kembali.

"Emang bener lo pantes jadi pawang si Elvano, nurut banget tuh bocah kalau sama lo."

  ***

Di kediaman Fiza, perempuan itu sedang  menonton tayangan televisi dengan toples berisi makanan di pangkuan.

"Fiza," panggil seseorang membuat ia tersadar dari lamunannya.

"Iya Pah?"

"Bagaimana belajar kamu?" tanya Yudi datar.

"Baik Pah."

"Papah mau nilai kamu naik Fiza." Fiza hanya menunduk sembari memainkan kuku tangannya.

"Jangan sampai nilai kamu turun seperti semester kemarin."

"Iya Pah."

"Harusnya kamu seperti Naya, dia selalu menjadi juara 1. Sedangkan kamu? Masuk tiga besar saja tidak pernah!"

Lagi-lagi soal Naya. Kedua tangan Fiza mengepal menahan kekesalan di dalam diri ketika mendengar itu.

"Makanya kamu harus belajar! Bukannya main terus! Bagaimana mau masuk universitas bagus kalau kamu hanya malas-malasan dan main terus?"

"Iya Pah."

"Sekarang masuk kamar dan belajar! Papah tidak mau nilai kamu turun lagi." Fiza segera memasuki kamarnya menuruti perintah. Ia menatap tumpukan buku itu malas.

Harus belajar seperti apa lagi agar papahnya puas?

Mengapa harus selalu Naya yang dibandingkan dengannya?

Ia benci dibanding-bandingkan.

Fiza melihat sebuah bingkai foto tergantung menampilkan tiga orang sedang tersenyum lebar dengan senyuman miris.

NayaVa (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang