"Hukuman yang tepat untuk penghianat adalah dengan melukai hatinya. Dengan itu ia akan sadar, bahwa luka fisik tidak akan membuatnya sadar akan rasa sakit yang ia torehkan pada orang lain."
- Dentara Aksapranaja-
Kilat memancar dengan suara guntur, hembusan angin beserta hujan lebat dan juga suara ombak di bawah sana terdengar. Hujan badai telah terjadi.
Terlihat dari atas sana melalui kaca, semuanya tampak mengerikan. Sangat. Air yang ditiup oleh angin melompat tanpa beban ke atas. Menciptakan sebuah ombak yang cukup besar. Siapa pun mungkin tidak akan mampu menyelamatkan diri dari ombak raksasa itu.
KREKKK
Badan pesawat bergerak tanpa henti. Menandakan ada sesuatu yang terjadi diantara salah satu badan itu.
CTARRR
Jaritan banyak orang mengisi ruangan. Mereka berteriak, menangis, memeluk, mencengkram apa saja, berdoa untuk mencari perlindungan dan keselamatan. Takut menyelimuti hati mereka. Maut di depan mata.
Pesawat yang semulanya baik-baik saja kini terlihat meresahkan. Dia terus bergerak seperti sebuah mobil yang menabrak bebatuan. Namun tunangannya lebih kuat.
CTARRRR
"Help me!!!"
"Oh God!"
"Help!"
"Mamaaaa! Hana takuttt ... hiks!""Jangan takut sayang, ada Mama disamping Hana, hiks!"
Seorang gadis berusia sekitar enam belas tahun menoleh dengan pelipis berkeringat di samping. Bahasa mereka membuatnya menoleh. Tidak hanya dirinya disini orang kebangsaan negara merah putih itu, tapi ada orang lain.
Lalu matanya beralih pada seorang anak berusia enam tahun. Dadanya sesak. Merasa kasihan kepada saudaranya itu.
Tassa meremas tangan kedua orangtuanya. Tubuhnya bergetar. Hingga kedua kakinya menimbulkan suara kecil pada lantai. Keringat dingin terus membanjirinya. Dadanya semakin sesak.
"Bu-bunda ... Acha ta-ta-kut ...," lirihnya ketakutan. Air mata sudah mengalir deras dari pelupuk matanya.
Dian menangis. Begitupun Wira.
"Cha, jangan takut ... kita disini sama-sama. Ada Ayah dan Bunda di samping kamu," ucap Wira mencoba menangkan anak satu-satunya.
"Ta-tapi, Ta-tapi Acha ... A-acha takut ...," Tassa mendongak, menatap sedih kedua orang tuanya bergantian sembari menggelengkan kepala. "A-acha nggak mau mati di negara ini ... Acha nggak mau ... hiks!" lirihnya pilu.
Wira dan Dian langsung memeluk Tassa. Mencoba memberikan kekuatan. Kedua paruh baya itu menangis tanpa suara. Raut sedih dan tidak rela terpancar disana.
"Acha, ingat kata-kata Ayah. Kamu jangan pernah takut, hadapi semuanya walaupun di depan maut. Jangan kalah dengan keadaan," bisik Wira memberi semangat.
KAMU SEDANG MEMBACA
DENTARA(SELESAI)
Acak"Setiap langkah, setiap detik, percayalah. Satu perlawanan dari seseorang sedikit pun akan aku pastikan hidupnya tidak tenang jika berani melukaimu." -Dentara Aksapranaja "Manusia itu hanya titipan. Mereka bisa saja kembali tanpa kamu ketahui, jadi...