"Denta ... kamu mau menikahkan Tassa? Saya akan sangat berterima kasih jika kamu berkenan. Hanya kamu dan keluarga kamu harapan dan orang yang saya percayakan, tapi saya akan memaklumi jika kamu menolak. Saya juga tidak akan memaksa. Bagaimana 'pun juga permintaan saya ini memang kurang masuk akal, Nak."
Mata seseorang terpejam ketika teringat permintaan seorang pria paruh baya yang merupakan sahabat baik ayahnya. Rambutnya bergerak pelan ketika hembusan angin menerpa wajahnya.
Tidak pernah terbayangkan olehnya akan ada orang yang meminta, bahkan memohon supaya ia mau menikahkan anaknya yang masih dikatakan remaja. Terlebih lagi itu adalah permintaan dari pria paruh baya yang nampak sekarat. Ia semakin tidak kuasa jika menolak permintaan tulus itu, tapi dia juga masih remaja. Ia belum siap berumah tangga dalam usia semuda ini. Ia akan menikah jika merasa umurnya sudah matang dan siap untuk melakukan hubungan sakral itu.
Kepalanya mendongak ketika sebuah tangan mengusap lembut bahunya. "Denta ... Bunda nggak maksa kamu buat nikah, tapi kamu harus mikirin bagaimana perasaan Om Wira sama anaknya. Jika apa yang om Wira alamin itu juga terjadi sama Bunda ataupun ayah, pasti kami akan melakukan hal yang sama."
"Tapi nikah itu--"
"Bunda, paham. Umur kamu masih terlalu muda untuk menikah. Tapi kalau demi kebaikan, kenapa kamu harus menolak? Kita semua punya garis takdir yang tidak pernah kita duga, Denta. Lagi pula Bunda tau kok anak yang mau dinikahkan sama kamu itu. Dia baik."
Denta membuang muka.
"Keputusan ada di tangan kamu. Enggak ada yang maksa kamu, semuanya kamu yang pikirkan. Bunda cuma mau memberi nasehat agar kamu bisa menjadi lebih baik." Setelah mengucapkan itu, sang bunda beranjak. Tidak lupa dia menyempatkan diri mengusap bahu putra semata wayangnya.
Denta mengusap wajahnya kasar. Ia benar-benar bingung dengan keputusan yang akan diambil. Semua tantang masa depan benar-benar memusingkan jika selalu dipikirkan.
Esoknya, Denta diajak Danu dan Dinar---bunda Denta ke rumah sakit untuk kembali menjenguk sang sahabat dan anaknya. Saat berada di depan ruang rawat Wira, tiba-tiba Dinar menarik tangan Denta.
"Denta, kamu mau liat anaknya Om Wira?"
Denta hanya diam.
"Diam berarti iya!" kata Dinar tegas. "Ayo ikut, Bunda!" Tanpa menunggu persetujuan Denta, Dinar langsung menarik tangannya dan membawanya ke sebuah ruangan yang ia yakini itu ruangan anak gadis om Wira.
"Itu Tassa ... anak om Wira sama alm. Tante Dian," tunjuk Dinar pada seorang perempuan yang tengah terbaring lemah di atas brankar dengan banyak alat-alat entah apa namanya melekat ditubuhnya. "Apa kamu tega biarin dia sendiri kalau ayahnya meninggal?"
Denta tidak menyahut. Kakinya perlahan melangkah mendekati brankar di tempat gadis itu terbaring.
Sedangkan Dinar, dia tetap berdiri di tempat. Melihat pergerakkan Denta yang mendekati Tessa. Ingin memberi waktu untuk anaknya, Dinar memutuskan untuk pergi ke kamar rawat Dian.
Kembali pada Denta, ia tampak terpaku menatap gadis itu cukup lama dengan tatapan lekat. Tanpa disadari kedua sudut bibir Denta tertarik hingga membentuk senyum lirih, dengan mata yang tiba-tiba berkaca. "Pantesan gue nggak pernah liat lo beberapa bulan ini, ternyata lo malah tidur nyanyak disini, huh?"
Denta tertawa lirih. Sudut matanya berair hendak menjatuhkan cairan itu. Tangannya terangkat untuk menyeka air mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
DENTARA(SELESAI)
عشوائي"Setiap langkah, setiap detik, percayalah. Satu perlawanan dari seseorang sedikit pun akan aku pastikan hidupnya tidak tenang jika berani melukaimu." -Dentara Aksapranaja "Manusia itu hanya titipan. Mereka bisa saja kembali tanpa kamu ketahui, jadi...