Langit tampak mendung di atas sana. Menutupi matahari dengan awannya yang menghitam, menandakkan hendak turun hujan. Dia seakan mengerti perasaan seseorang yang bernaung di bawah sana tengah berjongkok di antara dua gadukan tanah liat yang sudah ditumbuhi rerumputan liar. Gadis malang yang terlihat rapuh. Tassa, gadis itu menangis, menjerit, dihadapan pemakaman kedua orangtuanya. Ia tampak terlihat kacau dengan raungan menyayat hati si pendengar.
Setelah mengetahui kabar buruk itu, Tassa bersikeras ke pemakamakan kedua orangtuanya setelah dinyatakan perlahan kembali sehat.
Tassa terisak hebat. Kedua bahunya tanpa henti bergetar. Denta yang ikut berjongkok di samping gadis itu terdiam menatap Tassa dengan sorot yang sulit diartikan.
"Ke-kenapa ... kenapa kalian te-tega ting-tinggalin A-acha? A-acha ng-nggak ma-mau se-sendiri ...," Tassa menangis sesengukkan memeluk nisan ayahnya sembari mengusap nama yang tertera di nisan itu. Hatinya sakit menerima kenyataan ini.
Bayangan kebersamaan bersama kedua orangtuanya kembali berputar di kepalanya. Bagaimana mereka tertawa, saling memeluk sayang, dan bercanda ria. Disaat seperti ini, sesuatu yang terlukis bahagia kini terasa menyakitkan untuk diingat.
"A-ayah, Acha kangen Ayah. A-acha pengen pe-peluk Ay-ayah, A-acha pengen be-bercanda sa-sama Ayah ...," lirihnya sesengukkan. "Jangan tingagalin Acha, Acha mau ikut."
Lalu ia beralih menatap nisan ibunya. Merangkak menghampiri gadukan yang ada di samping makam ayahnya itu. "Bu-bunda, bunda ayo bangun ... pulang, ayo! Ki-kita masak bareng. A-acha ma-mau be-belajar masak lagi sa-sa-ma Bunda ... Bunda. Bunda jawab Acha!" Tassa mengeraskan suara menatap tajam nisan itu. Detik berikutnya ia kembali terisak dan berangsut memeluk nisan ibunya. Mencoba menyampaikan rasa rindunya.
Denta menunduk. Ia membuang muka, melihat ke lain arah.
Beberapa menit berlalu, Tassa masih di posisi yang sama. Bahkan isakannya tidak lagi terdengar. Denta yang masih di seberang sana---menatap Tassa heran. Perasaannya tiba-tiba was-was melihat Tassa yang tidak bergerak sama sekali. Lantas ia beranjak, berjalan sedikit berlari menghampiri Tassa. Denta menepuk bahunya, namun tidak ada sahutan.
"Cha ... Acha .... lo kenapa? Acha? Lo baik-baik aja 'kan? Cha?" panggilnya. Merasa tidak ada yang beres, Denta menarik kedua bahu Tassa hingga gadis itu mendongak. Tubuh Tassa tiba-tiba jatuh menghambur ke pelukan Denta dengan mata sebabnya yang tertutup rapat.
"Acha!" Denta memekik kaget.
Tassa pingsan.
Tidak menunggu lama, Denta langsung mengangkat bridal style tubuh Tassa yang kurus itu menuju mobil yang terparkir di depan komplek pemakaman. Ketika sampai di mobil, Denta mendorong masuk Tassa hati-hati di kursi belakang. Ketika ia menyentuh Tassa tadi, Denta bisa merasakan suhu tubuh gadis itu lebih hangat. Lantas ia menempelkan punggung tangannya pada kening gadis itu. Mengecek kembali, takut dirinya salah.
"Panas," gumamnya.
Denta seketika panik. Sakin paniknya, ia memaksa lewat disela kursi untuk duduk di kursi kemudi. Ia langsung melajukan mobil itu membelah jalan.
Mobil Denta melaju di atas rata-rata dan melongos melewati sekumpulan anak motor yang tengah menongkrong dipinggir jalan. Wajah mereka melongo melihat mobil mewah itu lewat. Hingga salah seorang mereka berseru ketika melihat bahwa Denta-lah yang mengendarai mobil mahal itu karena kacanya yang terbuka.
"WOI, ITU KETUA GENG PHOENIX!!!" teriak salah satu dari mereka.
Sontak Denta terkejut ketika suara itu tanpa sengaja masuk ke indera pendengarannya. Ia melirik kaca spion, terlihat sekumpulan motor berlomba-lomba mengejarnya. Ia berdecak kesal, "Sial!"
KAMU SEDANG MEMBACA
DENTARA(SELESAI)
De Todo"Setiap langkah, setiap detik, percayalah. Satu perlawanan dari seseorang sedikit pun akan aku pastikan hidupnya tidak tenang jika berani melukaimu." -Dentara Aksapranaja "Manusia itu hanya titipan. Mereka bisa saja kembali tanpa kamu ketahui, jadi...