Bagian 34

407 38 43
                                    

Ruangan bernuansa putih itu tampak sepi. Hanya ada dua orang disana. Detik jam saja yang berbunyi, mencegah keheningan diruangan yang tidak terlalu besar.

Lelaki dengan rambut acak acakan itu tengah terdiam memperhatikan perempuan yang sedang tertidur pulas diranjang. Lengannya yang diinfus juga slang pernafasan membuat lelaki itu merasa kasihan. Sejak tadi, tidak ada yang dilakukan oleh cowok berjaket denim itu selain diam.

Arga menghembuskan nafasnya berat. Sudah dua hari ini perempuan itu tidak bergerak.
Perlahan, Arga meraba lengan perempuan itu dengan lembut. Saat Arga menyentuhnya, lengan perempuan itu terasa dingin.

Arga mendekap lengan itu dengan kedua tangannya. Ia lalu mengelusnya perlahan, "gue mohon, bangun Hel." Ujar cowok itu. Arga mencium lengan Rahel.

"Hel, bangun.." cowok itu tampak melirih, seolah ia merasa tidak bertenaga untuk melakukan apapun.

"Masih banyak mimpi yang harus lo gapai. Ayo Hel, kita berjuang bareng-bareng buat capai mimpi lo." Arga masih memegang erat lengan Rahel. Cowok itu memajukan badannya agar lebih mendekat.

"Hel, katanya lo pengen jadi Dokter. Lo pengen kan bantu orang-orang yang kayak lo?" Tangan Arga mengulur untuk mengelus kening Rahel. "Makanya bangun, Hel. Gue masih butuh lo buat temani gue."

Arga menghela nafasnya. Rasanya percuma saja berbicara. Toh, Rahel tidak mungkin mendengarnya.

Suara pintu terbuka membuat perhatian Arga teralihkan. Seorang Dokter perempuan dengan dua perawat yang menemaninya sedang berjalan ke arah Arga.

"Permisi, biar saya periksa dulu," Dokter berwajah cantik itu tersenyum pada Arga, namun Arga hanya membalas dengan senyum tipis. Cowok itu lantas mundur, membiarkan Dokter dengan kedua perawat itu memeriksa Rahel.

Tidak lama saat Dokter memeriksa, Arga terkejut dengan alat monitor pasien yang menunjukan garis lurus. Sontak cowok itu berdiri dari kursi dan berlari kecil menuju ranjang.

"Sus, ambilkan alat pacemaker, cepat." Suster berpakaian serba putih itu dengan segera memberikan alat yang diminta dokter. Setelah diterima, dokter segera memacu jantung Rahel. Berharap jantungnya masih berfungsi dan bisa selamat.

Cowok yang berdiri tidak jauh dari sana merasa cemas. Ia tidak bisa apa-apa setelah suster menyuruhnya untuk keluar. Arga hanya bisa melihat Rahel entah sedang dipakaikan alat apa dibalik pintu. Cowok itu merasa frustasi dan memukul dinding rumahsakit meski tidak terlalu keras. Arga duduk dikursi besi panjang yang tidak jauh dari pintu. Cowok itu menarik rambutnya lalu mengusap wajahnya kasar.

"Gue mohon, Hel. Bangun, Hel. Gue masih butuh lo. Gue masih belum pengen lo pergi. Gue sayang lo, Hel." Lirihnya. Air matanya mengalir meski tidak deras. Setetes air bening itu turun membasahi pipi Arga yang lebam. Sudut bibirnya terluka.

Suara langkah terdengar ramai dilorong rumah sakit. Arga menoleh kearah kiri, teman-temannya sedang berlari menuju kearahnya.

Arga berdiri. Tanpa diduga cowok itu memeluk Elzan yang baru saja berada disampingnya.

"Zan, Rahel.." Arga terisak dipelukan cowok itu. Wajah mereka masam. Ketiga cowok itu merasa iba dan cemas dengan keadaan Rahel yang kritis.

"Yang sabar, Ga. Berdoa aja semoga Rahel baik-baik aja." Cowok bertopi hitam itu menepuk bahu Arga. Setelahnya, Arga melepas pelukan itu dan menyeka airmatanya yang masih tersisa.

"Gue nggak mau kehilangan Rahel," Arga duduk disebelah Elzan. Cowok itu tampak kusut dengan baju seragam yang masih ia kenakan. Sejak dua hari, Arga tidak pulang kerumah, cowok itu menginap dirumah sakit untuk menemani Rahel.

My Brother Is Mine! [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang