"Assalamualaikum, Ma.." ucap Anara menyapa ibunya disebrang sana. Perempuan itu sedang duduk diranjang nya dengan ponsel yang menempel di telinga.
"Waalaikumsalam, sayang," ujar Myta.
"Apa kabar, Ma? Anara kangen." Perempuan itu mengubah posisi nya. Ia menyilakan kakinya. Perempuan dengan piyama biru itu amat merindukan ibunya. Rasanya, ditinggal tiga hari saja sudah seperti berpuluh tahun.
"Mama baik. Kamu gimana? Susah banget hubungin kamu akhir-akhir ini. Udah mendingan sakitnya?" Suasana ditempat Myta begitu sepi. Bisa Anara dengar, disana seperti sedang tidak ada aktivitas sama sekali.
"Baik. Gimana keadaan Papa, Ma?"
"Belum ada peningkatan, Ra. Papa belum sadar." Ucapan Myta membuat Anara mendesah berat. Sudah hari keempat Papanya belum juga tersadar dari koma. Anara sangat merindukan panggilan telpon dari Papanya. Pekerjaannya sebagai pengacara diluar negeri membuat Papanya jarang untuk pulang.
"Apa kata dokter?"
"Kata dokter, Papa Syok Kardiogenik. Papa harusnya dapet penanganan secepatnya, tapi ini nggak. Otot jantung Papa melemah. Pasti Papa banyak pikiran, kurang istirahat juga. Mama takut, Ra. Kata dokter, penyakit ini serius." Anara tidak bisa berkutik. Ia hanya bisa menghela nafasnya ketika Myta mulai membicarakan kondisi Papanya.
"Mama tengang, ya. Dokter pasti usaha yang terbaik buat Papa. Anara sama Arga disini baik-baik aja, jadi nggak perlu khawatir. Mama disana fokus sama Papa aja. Anara selalu doain yang terbaik buat Papa, Ma." Anara berfikir keras untuk mengalihkan pembicaraan. Perempuan itu tidak mau Mamanya bersedih disana. "Oh ya, anaknya bi Surti juga sakit ya Ma? Kemarin bibi izin pulang kampung." Ucap Anara ketika teringat kemarin pembantu rumah tangga nya meminta izin pulang karena anaknya sedang sakit.
"Iya, Ra. Mama udah kirim uang buat biayanya. Kamu harus hati-hati ya. Kalau demam langsung ke dokter aja, ya?" Anara tersenyum bisa membuat Myta lebih tenang. Ia bisa mendengar nada suara Myta yang berbeda dari sebelumnya.
"Mama udah makan?"
"Udah. Kamu sama Arga udah makan, Ra?"
"Udah, Ma."
"excuse me, ma'am," terdengar suara berat ditempat ibunya. Dapat dipastikan bahwa itu suara dokter. "I will talk about the patient's condition." Ucapnya lagi.
"Oh, yes. Wait a minute, doctor," ucap Myta. "Ra, Mama tutup dulu telponnya ya, nanti ditelpon lagi." Ucapnya. Sepertinya pembicaraan ini sedikit serius.
"Iya, Ma. Kabarin Anara kalau ada apa-apa ya? Assalamualaikum, Ma."
"Waalaikumsalam," telpon terputus. Anara tidak lagi mendengar suara ibunya. Ia begitu penasaran dengan apa yang akan dokter bicarakan. Namun untuk meminta mendengar pembicaraan tadi, tidak begitu memungkinkan. Anara akan bertanya besok.
Anara menyimpan ponselnya diatas nakas. Ia memandang kearah jendela. Belum terdengar suara motor Arga. Cowok itu belum pulang sejak pergi tadi. Entah kemana perginya. Ia benar-benar tidak merasa khawatir meninggalkan Anara sendirian dirumah. Apalagi, ini sudah memasuki pukul sepuluh malam.
Anara membuang nafasnya. Dia membaringkan tubuhnya diatas ranjang. Perempuan itu memeluk gulingnya. Dalam hitungan menit, perempuan itu sudah berhasil sampai kealam mimpi. Ia sudah mengakhiri hari yang tidak akan pernah ia lupakan. Bersama Arga sore itu, Anara benar-benar dibuat bahagia.
••
Anara terbangun karena mendengar suara berisik didapur. Perempuan itu sudah bangun jam tiga malam, ia pindah kesofa ruang tamu karena Arga juga pasti akan tidur disana. Arah ruang tamu dari dapur tidak begitu jauh. Sehingga Anara bisa mendengar suara dentingan alat masak dari arah sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Brother Is Mine! [HIATUS]
Adventure[HARAP FOLLOW TERLEBIH DAHULU] Kita tidak bisa memilih kepada siapa hati kita akan berlabuh. Seperti Anara yang ditakdirkan untuk melabuhkan cintanya pada lelaki yang berstatus menjadi kakaknya itu. Anara sebetulnya tidak pernah menyangka dirinya me...