Bagian 22

572 54 6
                                    

Jika ragu, tolong tinggalkan. Jangan terus bertahan dengan kebohongan.”
—Anara Alexa Chelsea
_________________________

Anara telah tahu semuanya. Diperjalanan, Elzan telah menjelaskannya bahwa apa yang Arga katakan itu tidaklah benar. Anara tertusuk. Rasanya sangat sakit. Meskipun Anara tidak tahu Arga pergi kemana, namun cewek itu terasa tidak mau dibohongi. Kenapa Arga tidak berbicara jujur padanya. Cewek itu tidak pernah diperlakukan sebagai pacar.

Anara menatap motor hitam Arga yang terparkir dihalaman. Cewek itu enggan masuk kedalam. Namun kakinya seakan membawa dia pergi untuk bertemu Arga. Meminta penjelasan tentang ini semua.
Anara menghela nafasnya, degupan jantung yang berpacu lebih cepat itu menambah rasa canggung juga gugup Anara.

Cewek itu lalu membuka pintu, tidak dikunci. Anara masuk kedalam, ruang tamu begitu gelap. Hanya ada beberapa lampu saja yang menyala.
Anara menatap pintu kamar Arga yang berada diatas. Pintunya tertutup. Entah akan berbicara apa cewek itu saat bertemu Arga.

"Assalamualaikum," Anara memberi salam, tidak ada jawaban. Anara yakin, ibunya masih berada dikampus saat ini.

Anara naik keatas setelah mengecek keseluruh ruangan, tidak mendapatkan keberadaan ibunya. Cewek itu melewati kamar Arga dengan gugup. Entah sedang apa didalam, kamar cowok itu terdengar ramai. Mungkin karna speaker game yang terlalu keras.

Setahu gue, nenek Wiro udah meninggal setahun lalu. Ucapan Elzan berputar dikepala Anara. Membuat cewek itu frustasi merasakannya.

Anara menatap langit-langit kamarnya dengan berbaring. Lo kemana tadi, Ga. Batin Anara bergumam. Cewek itu merasa sesak mendengar penjelasan Elzan.

Suara gemuruh petir disebrang sana menggelegar, membuat Anara terkejut lalu memeluk gulingnya. Cewek itu duduk dikasur dengan batal yang berada dipaha.
Anara menatap pintu kaca yang memisahkan antara kamarnya dan balkon. Rintik-rintik hujan mulai turun membasahi bumi.

Anara berjalan pelan kesana, menggeser pintu kaca itu, udara dingin juga sedikit percikan air hujan terasa jelas dikulit Anara. Cewek itu duduk disofa yang berada disana. Matanya menatap balkon kamar Arga yang berada disebrang.

Kamar Anara dan Arga bersebelahan. Balkon kamar mereka juga. Jika saja kedua manusia itu berada dibalkon, maka akan saling bertemu.

Anara melipat tangannya dipagar kaca. Memperhatikan satu persatu butiran air hujan. Dirinya seakan terhipnotis oleh semilir angin yang meniup rambutnya.

"Ra, udah pulang?" Suara berat itu memecah lamunan Anara. Cewek itu refleks menoleh kesamping, Anara terkejut menemukan orang yang ia akan hindari. Cowok itu tampak santai seolah tidak terjadi apa-apa. Dengan celana pendek selutut juga kaos putih, Arga berdiri menatap Anara dari balkon kamarnya.

"Ra, lo kenapa?" Suara Arga terdengar lembut ditelinga Anara. Namun hatinya sakit. Setenang itukah Arga? Padahal cowok itu tengah menyembunyikan kebohongan yang seharusnya dijelaskan.

Anara mencoba mengatur nafasnya, degupan jantung berpacu bersama air hujan yang tampak mereda. Cewek itu menarik nafas dalam-dalam.

"Gak papa." Anara memalingkan wajahnya dari Arga. Kening cowok itu terlihat mengerut walau tipis. Anara tidak peduli, rasa kesalnya seakan memuncak saat itu juga.

"Gue kekamar lo ya?" Anara menoleh sekilas, dia lalu menatap gedung tinggi yang berada disana.

"Gak usah." Ucapnya tegas. Arga yang mendengarnya sedikit terkejut. Cowok itu mengubah posisinya menjadi berdiri dengan tangan yang melipat sempurnya dipagar. Matanya masih setia menatap Anara.

"Kenapa? Pengen peluk padahal. Dingin," Anara tampak terpaku. Cewek itu berusaha semaksimal mungkin agar tidak goyah. Anara menghela nafasnya. Lalu kakinya membawa masuk kedalam. Mendorong pintu kaca itu keras, sehingga suaranya dapat terdengar Arga. Cewek itu menutup gorden agar pintu kaca juga jendelanya tertutup.

My Brother Is Mine! [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang