9. JANGAN MENDAHULUI TAKDIR

746 100 1
                                    

Jika diberi pilihan untuk ditinggal atau meninggalkan, untuk hal-hal tertentu Hilal mungkin akan memilih untuk egois, ya itu memilih untuk meninggalkan terlebih dulu.

Seperti saat ini, jika dirinya bisa meminta kepada Tuhan. Hilal ingin kekasihnya diberi kesembuhan, dan jika tidak biarkan dirinya yang diberi kesempatan terlebih dulu untuk meninggalkan, dan setelah itu Hilal akan bergantian menunggu Arabella di alam sana.

Tapi Hilal tidak ingin mendahului takdir, kuasa Hilal hanya bisa meminta dan berharap, tidak untuk mengubah.

Hilal harap hubungannya dengan Arabella tidak sama seperti padi dengan lumpur, lumpur yang sudah membuat padi hidup dari kecil sampai besar dan setelah besar harus ditinggalkan oleh padi jauh entah ke mana, dan setelah itu akan ada benih padi baru yang akan mengisi lumpur. Hilal tidak ingin ditinggalkan, dan Hilal tidak ingin perempuan baru untuk menjadi pendampingnya, cukup Arabella untuk menjadi yang pertama dan terakhir, gadis yang sudah ia pertahankan selama tujuh tahun ini dan untuk selamanya.

Mungkin kegiatan Hilal dimulai dari kemarin sampai waktu yang tidak ditentukan adalah merenung dan melamun, itu terjadi begitu saja tanda disengaja. Memikirkan hal yang tidak tahu ujungnya.

"Hilal." Panggil Arabella pada kekasihnya itu yang sedang duduk di kursi yang terdapat di sebelah kanan ranjangnya.

"Hem, kamu mau apa?" Tanya Hilal cepat sambil memandang wajah Arabella, sudah bersiap untuk mendapatkan jawaban.

"Jangan ngelamun." Ucap Arabella.

Dengan sedikit mengerucutkan bibirnya kecil, Hilal menarik tangan kanan Arabella dan setelahnya mengecup punggung tangan itu.

"Capek ya?" Tanya Arabella.

"Capek ngapain? Orang dari tadi aku duduk aja di sini." Hilal terkekeh pelan meresponya.

"Capek sama aku." Ucap Arabella.

Hilal menghentikan tawanya, berganti dengan tatapan menyelidik ke mata kekasihnya itu.

"Nggak usah ngomong aneh-aneh deh." Balas Hilal. Tangganya terulur untuk mengelus pipi pucat Arabella yang semakin tirus.

"Aku serius, Hilal."

"Hem." Hilal meresponya dengan malas.

Tangan kanan Hilal menggenggam jemarin Arabella, menyatuhkan tangan mereka berdua dalam satu rasa.

"Kalau kamu masih ragu sama aku, nggak apa-apa kok wajar, aku juga nggak bisa maksa, yang perlu aku lakuin harusnya ngeyakinin kamu. Dan yang perlu kamu tau, aku serius buat nikahin kamu. Sebentar lagi aku sidang, terus habis wisuda aku lamar kamu." Ucap Hilal sambil tersenyum diakhir katanya.

"Nanti kalau kita nikah-"

"Pasti nikah kok, nggak usah kalau-kalau." Potong Hilal cepat.

"Terus kalau aku mati, kamu bakal jadi Duda." Ucap Arabella sambil tertawa pelan, tawa yang tidak sampai ke matanya, tawa yang hanya sebatas lengkungan bibir dengan suara.

"Ara, jangan ngedahuluin takdir. Kita nggak tau rencana Tuhan, siapa yang bakal ninggalin dunia lebih dulu di antara aku sama kamu, cuma Tuhan yang tau siapa yang bakal diambil lebih dulu. Selagi masih dikasih waktu, harus kita gunain buat hal-hal yang baik." Ucap Hilal lembut, menatap sendu mata Arabella.

"Jangan mikirin mati karena semua orang juga bakal meninggal, dibanding mikirin mati kenapa nggak kita mempersiapkan amal ibadah yang bakal dibawa mati? Kenapa kita harus sibuk mikirin waktu kapan kita bakal mati? Kenapa nggak memperbaiki diri aja?" Tanya Hilal.

"Aku cuma takut." Ucap Arabella, matanya mulai berkaca-kaca.

Hilal kembali tersenyum menenangkan, laki-laki mendekat lalu merengkuh tubuh lemah Arabella ke dalam pelukan hangatnya.

HILALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang